Saturday 1 March 2014

Pemberian Ganti Rugi Terhadap Penguasaan Tanah Tanpa Hak

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan.1
Untuk mencapai cita-cita Negara tersebut di atas, maka bidang agraria perlu adanya suatu rencana (palning) mengenai peruntukan penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup Rakyat dan Negara. Rencara umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya rencana itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur sehingga dapat membawa manfaat sebesar-besarnya bagi Negara dan Rakyat.
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.2 UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.3 Dari ketentuan dasar ini, dapat diketahui bahwa kemakmuran rakyatlah yang menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kebutuhan penggunaan dan pemanfaatan tanah oleh negara dan warga masyarakat bertambah sesuai pertumbuhan jumlah keluarga atau penduduk secara umum, efisiensi produk primer, skunder, dan tersier, transportasi, dan perencanaan pengembangan sarana dan prasarana umum, serta perubahan substansi nilai kebutuhan. Dengan demikian, Tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mewujutkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.4 Negara di sini tidak lagi sebagai pemilik (eigenaar), tetapi sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia, yang pada tingkat tertinggi diberi wewenang;5 mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan demikian jelaslah bahwa tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia, yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai tumpuan masa depan kesejahteraan manusia itu sendiri. Berdasarkan jalan pemikiran tersebut dan agar tanah digunakan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Dalam bentuk Negara yang demikian, maka setiap usaha pemerintah mau tidak mau akan memasuki hampir seluruh aspek kehidupan dan penghidupan rakyat, baik sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat. Sehingga sudah barang tentu pembentukan “Hak dan Kewajiban” tidak dapat dihindarkan dan akan selalu terjadi. Warga masyarakat selalu ingin mempertahankan hak-haknya sedangkan pemerintah juga harus kepentingan terselenggaranya kesejahteraan umum bagi seluruh warga masyarakat.6
Sehubungan dengan itu, dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal tersebut mencantumkan ketentuan-ketentuan umum dari pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu:
1)Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2)Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi :
a.Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b.Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c.Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3)Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4)Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.7
Melalui penjelasan tersebut di atas, jelaslah bahwa pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Oleh karena itu, setiap orang yang memiliki hak atas suatu tanah, hendaklah untuk mendaftarkan tanah tersebut ke BPN untuk dapat diterbitkan sertipikat atasnya, dimana sertipikat merupakan surat tanda bukti hak atas kepemilikan sebidang tanah. Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftarkan dalam buku tanah. Sertipikat hanya boleh diserahkan kepada namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya.
Tanah merupakan suatu sumber penghidupan bagi manusia, untuk itu tanah sangat bermanfaat bagi manusia dan manusia sangat memerlukan tanah dalam kelangsungan hidupnya baik dapat digunakan sebagai tempat untuk mendirikan tinggal untuk mendirikan bangunan atau tempat bertani serta segala kegiatan yang berkaitan langsung dengan manfaat atas tanah. Oleh karena sangat besar manfaat atas tanah, maka semakin hari semakin banyak permintaan kebutuhan atas tanah dan seiring dengan itu pula, nilai jualnya pun makin besar.
Di dalam Negara Indonesia, sengketa atas tanah merupakan suatu momok yang tidak asing lagi, karena hampir seluruh kebutuhan hidup masyarakat hanya bergantung pada tanah, oleh karena itu sengketa atau permasalahan atas tanah selalu ada.  Permasalahan atau sengketa atas tanah yang terjadi sangat bervariasi mulai sengketa yang berkaitan dengan sertipikat, sengketa kepemilikan atas tanah, juga samapai pada pendudukan tanah tanpa hak atau melawan hukum oleh salah satu pihak. Sengketa-sengketa tersebut di atas selalu mewarnai sistem peradilan dan juga lembaga peradilan di indonesia.
Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan  secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat dan kepala kantor yang bersangkutan, ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Juga penguasaan tanah secara adat adalah sah apabila belum ada peraturan khusus mengenai hak milik atas tanah dan terhadap tanah itu dapat disamakan dengan hak milik sebagaimana diatur dalam pasal 20 UUPA.
Sehubungan dengan hal di atas penguasaan atas tanah merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana penguasaan tanah merupakan suatu tindakan menguasai tanah hak milik maupun bukan hak miliknya, untuk menggunakan atau menikmati tanah tersebut untuk kepentingan dirinya. Namun pada kenyataannya penguasaan tanah bukan hanya terjadi pada tanah yang belum memiliki sertipikat atau tanah terlantar atapun pada tanah  milik adat yang belum dibuat sertipikat. namun juga dapat terjadi pada tanah yang telah memiliki sertipikat.
Penguasaan seseorang atas tanah yang bukan hak miliknya namun mendudukinya dengan itikad baik dan selama dalam kurun waktu tertentu tidak ada yang mengganggu gugat atau keberatan atas penguasaan itu, maka tanah tersebut dapat menjadi hak miliknya. Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah penguasaan tanah tanpa hak.
Penguasaan tanah tanpa hak merupakan suatu penguasaan tanah yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk menikmati atau menggunakan tanah tersebut yang bukan tanah miliknya tanpa alas hak dan juga secara melawan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua kasus yang berkaitan dengan pertanahan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yaitu dengan menguasai tanah milik orang lain secara tanpa hak. Seperti kasus yang terjadi Dalam perkara Lim Keng Eng v. Oey Wie Lay, No. 104 K/Sip/1968 (1969), bermula dari gugatan Oey Wie Lay sebagai Penggugat menggugat Lim Keng Eng. Dalam gugatannya Oey Wie Lay menyatakan sejak 1932 mulai dengan ayah Penggugat adalah penyewa dari persil berikut rumah dan pekarangannya yang terletak di Gang Eng Soen No. 209 Palmerah, Jakarta, yang dipakai sebagai tempat tinggal dan perusahaannya (pembatikan). Menurut Penggugat, pada tanggal 23 November 1962 pagar pekarangan persil yang disewa oleh Penggugat tersebut dirusak oleh Tergugat dan selanjutnya ia menyerobot masuk dan memasang patok di dalamnya dengan maksud membuat bangunan secara tanpa hak di atas tanah pekarangan itu.
Perbuatan tersebut di atas jelas sangatlah merugikan pihak sebagai pemilik sebenarnya, dan perbuatan tersebut haruslah dipertanggungjawabkan baik secara perdata yaitu dengan membayar ganti rugi maupun pidana. Oleh karena itu perbuatan penguasaan tanah tanpa hak tersebut haruslah dipertanggungjawabkan dengan cara membayar ganti rugi.
A.PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.Bagaimana Upaya Penyelesaian Permasalahan Penguasaan Tanah Tanpa Hak?
2.Bagaimana Pemberian Ganti Rugi Atas Penguasaan Tanah Tanpa Hak?
B.TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.Untuk mengetahui dan memahami upaya penyelesaian permasalahan penguasaan tanah tanpa hak.
2.Untuk mengetahui dan memahami pemberian ganti rugi atas penguasaan tanah tanpa hak
C.MANFAAT PENULISAN
Penulisan skripsi ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1.Memperdalam pemahaman dan pengetahuan mengenai upaya penyelesaian permasalahan penguasaan tanah tanpa hak.
2.Memperdalam pemahaman dan pengetahuan serta memberikan sumbangan pemikiran mengenai pemberian ganti rugi atas penguasaan tanah tanpa hak.
D.METODE PENELITIAN
1.Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang diangkat adalah  pendekatan yuridis normatif, di mana berdasarkan pendekatan tersebut, maka penelitian ini meliputi lingkup inventarisasi hukum positif, yang merupakan kegiatan pendahuluan dari seluruh proses dalam penelitian ini. 
2.Pengumpulan Bahan Hukum
Mengingat pendekatan ini mempergunakan  pendekatan yuridis normatif, maka pengumpulan  bahan hukum dilakukan dengan  prosedur identifikasi  dan inventarisasi bahan-bahan hukum primer  dan bahan-bahan hukum sekunder  serta bahan hukum tertier secara kriitis melalui proses klasifikasi  secara logis  sisitematis sesuai  dengan permasalahan  yang diteliti dalam penelitian ini.
Bahan-bahan hukum primer dimaksud yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang ketentuan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah, Yurisprudensi, serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini,. Bahan-bahan hukum sekunder meliputi hasil-hasil seminar, karya ilmiah, hasil penelitian, serta segala literatur yang ada kaitannya dengan objek penelitian ini. Bahan hukum tertier berupa kamus hukum dan kamus umum.
3.  Teknik Analisis
Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara normatif dengan menggunakan logika berpikir  secara deduksi yang didasarkan pada aspek  hukum dogmatif. Hasil penelitian ini akan  dapat digunakan untuk pembaharuan dan pembangunan hukum, khususnya yang berhubungan dengan perubahan dan pembaharuan keseluruhan ketentuan yang berkaitan dengan pertanahan.
3.SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I.    Pendahuluan.
A.Latar Belakang
B.Perumusan Masalah
C.Tujuan Penulisan
D.Manfaat Penulisan
E.Metode Penulisan
F.Sistematika Penulisan.
Bab II.  Tinjauan Pustaka.
A.Sengketa Tanah
B.Penguasaan Tanah Tanpa Hak
C.Ganti Rugi
Bab III. Pembahasan.
A.Upaya Penyelesaian Sengketa Penguasaan Tanah Tanpa Hak.
B.Pemberian Ganti Rugi Atas Penguasaan Tanah Tanpa Hak.
Bab IV.  Penutup
A.Kesimpulan 
B.Saran.
Pada akhir penulisan ini dicantumkan Daftar Pustaka yang berisikan sumber-sumber bahan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Sengketa Tanah
Konflik menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban pada saat dan keaadaan yang sama. Secara umum konflik atau perselisihan paham, sengketa diartikan dengan pendapat yang berlainan antar dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat atau keadaan yang sama. Selanjutnya kata “Konflik” menurut kamus ilmiah populer adalah pertentangan, pertikaian, persengketaan, dan perselisihan.8
Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.9 Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.10 Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.11
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia  memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai Peraturan Perundang-undangan dan/atau Kebijakan Pertanahan Nasional.12
Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum.
1.Faktor Hukum.
Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan belakangan ini antara lain :
a.Tumpang Tindih Peraturan.
Undang-Undang Pokok Agraria sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak menempatkan Undang-Undang Pokok Agraria sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan Undang-Undang Pokok Agraria sejajar dengan undang-undang agraria. Undang-Undang Pokok Agraria yang mulanya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundang-undangan sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transmigrasi dan lain-lain.
b.Tumpang Tindih Peradilan.
Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu konflik pertanahan yaitu Peradilan Perdata, Peradilan Pidana dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana).
2.Faktor Non Hukum.
a.Tumpang tindih penggunaan tanah. Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda.
b.Nilai ekonomis tanah tinggi.
c.Kesadaran masyarakat meningkat adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
d.Tanah tetap, penduduk bertambah. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin.13
Pengertian sengketa pertanahan dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN 1/1999, yaitu :
“Perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.”
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.14 Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam:15
1.Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya.
2.Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3.Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.
4.Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis
(Strategis).
Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, secara garis besar dikelompokkan menjadi :
1.Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
2.Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.
3.Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.
4.Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5.Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
6.Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
7.Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.
8.Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.
9.Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
10.Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
B.Penguasaan Tanah Tanpa Hak
Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah.16 Berhubung oleh karena itu, bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit, sedangkan permintaan tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan yang banyak segi-seginya.17
Sehubungan dengan itu pengaturan tentang penguasaan dan penggunaan tanah, yang dengan singkat disebut “Hukum Tanah” seharusnya pula terdiri dari ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan perkembangan seperti diutarakan di atas.18
Penguasaan tanah atau hak menguasai atau bezit atas tanah. Sebagai awal ditentukan pengertian dari menguasai dalam Pasal 529 Hukum Perdata dari istilah Bezit yang berarti : Kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu.
Pihak yang berwenang dan berhak untuk mempergunakan tanah adalah setiap orang atau badan hukum yang diberikan hak atas tanah oleh Negara yang dibuktikan dengan Sertifikat atau surat/izin lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.Setiap penggunaan tanah yang tidak didasarkan atas hak atas  tanah adalah suatu tindakan yang melawan hukum. Pemegang hak atas tanah dapat mengajukan gugatan untuk mempertahankan dan melindungi hak yang dipegangnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai dari hari penggugat kehilangan seluruh kedudukannya dan gugatan perbuatan melawan hukum apabila timbul kerugian atas hal tersebut.19 Tindakan mempergunakan tanah tanpa hak merupakan tindak pidana pelanggaran sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria):
1)Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
2)Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3)Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah menjelaskan bahwa Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.20 Berkaitan dengan penguasaan tanah, terdapat istilah penggunaan tanah yaitu wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Juga istilah pemanfaatan tanah yaitu Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.
Semua proses yang telah disebutkan di atas tergabung dalan suatu proses piñata gunaan tanah yaitu Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.21
Seperti yang telah dijelaskan di atas, selanjutnya akan dijelaskan secara lebih rinci lagi mengenai penguasaan atas tanah. Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. 22
Ada penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank) memgang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik  atas tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah  sebagaimana yang disebutkan dalam  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Hak–hak penguasaan atas tanah merupakan suatu rangkaian yang berisikan wewenang, kewajiban dan/larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib dan/dilarang untuk diperbuat itulah menjadi tolok ukur pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Negara yang  bersangkutan. Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai  hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1.Hak Bangsa Indonesia atas tanah
Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).
2.Hak menguasai dari Negara atas Tanah
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b.menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
3.Hak Ulayat msayarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adapt, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a.masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adapt tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adapat.
b.masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warganya.
c.masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
4.Hak-hak atas tanah
Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah. Hak-hak perseorang atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dala arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUPA.
Hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah ( Pasal 16 dan 53 UUPA), wakaf tanah hak milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA) dan hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).
Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.23
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Ayat 2 : Yang berhak ialah :
1.Negara dalam hal ini Menteri agraria atau pejabat yang ditunjuknya,
2.orang atau badan hukum yang berhak atas tanah itu.
Ayat 3 : Memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.
Bezit atau penguasaan atas benda dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.Bezit yang beritikad baik (bezit te goeder trouw);
2.Bezit beritikad buruk (bezit te kwader trouw), tercantum dalam Pasal 530 KUHPerdata, Art 586 NBW.
Menurut pendapat Salim HS, bezit adalah suatu keadaan yang senyatanya, seseorang menguasai suatu benda, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, namun secara yuridis formal benda itu belum tentu miliknya. Ini berarti bahwa bezitter hanya menguasai benda secara materiil saja, sedangkan secara yuridis formal benda itu milik orang lain.
Menguasai suatu benda mungkin sebagai pemegang saja atau mungkin sebagai orang yang menikmati bendanya. Menguasai benda sebagai pemegang saja, misalnya pada hak gadai. Pemegang benda jaminan tidak boleh menikmati benda jaminan, ia hanya menguasai sebagai pemegang saja (holder).
 Terjadinya bezit yang beritikad baik, apabila bezitter (pemegang bezit) memperoleh benda itu tanpa adanya cacat-cacat di dalamnya. Terjadinya bezit beritikad buruk apabila pemegangnya (bezitter) mengetahui bahwa benda yang dikuasainya bukan miliknya.24
bezit beritikad buruk atas sebidang tanah dapat juga di katakan seseorang yang menguasai tanah secara tanah tanpa hak atau melawan hukum. Bezit yang beritikad buruk/te kwader trouw (menurut Pasal 530 KUHPerdata) Bezit yang beritikad buruk adalah mereka yang memegang benda tersebut itu tahu bahwa bendanya diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan menurut cara-cara memperoleh hak milik (pasal 532 KUHPerdata). Seseorang dapat dikatakan beritikad buruk pada saat perkaranya dimajukan ke pengadilan di mana dalam perkaranya itu ia dikalahkan (Pasal 532 ayat 2 KUHPerdata.  Menguasai artinya memegang, menyimpan, menggunakan, memanfaatkan sesuai kehendak bebasnya dengan kemampuan pengendalian atas penyerahan kuasa, kekuatan formal atau nonformal(dasar hukum/kewenangan jabatan atau kenyataan fisik semata). Penguasaan tanah bukan karena kepemilikan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, gadai, hak pakai, hak pengelolaan, hak guna bangunan, dan hak lain yang dapat diperjanjikan, kecuali penempatan tanah secara melawan hak. Hal seperti ini terjadi terus menerus seolah menjadi hal biasa, tanah kosong dijadikan tempat berjualan, karena pemilik tidak tahu atau tidak peduli, dan seiring jalannya waktu dibangun rumah tempat tinggal seadanya sampai bentuk permanen. Pada saatnya hendak digunakan oleh pemilik terjadi pertengkaran karena yang menempati merasa berhak minta ganti rugi atas bangunan yang didirikan tanpa ijin tersebut. Untuk proses demikian butuh waktu, tenaga, biaya yang tidak sedikit.
Penguasaan tanah tanpa hak merupakan suatu bentuk penggunaan ataupun pemanfaatan sebidang tanah tanpa seijin atau sepengetahuan bahkan secara melawan hukum atas suatu bidang tanah. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (ilegal) tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana.25 Penguasaan tanpa hak disebabkan oleh kebutuhan, mata pencaharian, kesempatan, dan kurangnya pengawasan. Akibat hukumnya adalah bahwa mereka yang menguasai tanpa adanya alas hak secara hukum tidak sah karena tidak adanya izin dari pejabat yang berwenang.
Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51 PRP 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 51 PRP 1960.
Pasal 6
1.Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 3,4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah);
a.barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebuaan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat 1;
b.barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
c.barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;
d.barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini;26
Penguasaan tanah tanpa hak merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Dalam Pasal 1365 BW tersebut memuat ketentuan sebagai berikut : “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang. Dengan perkataan lain melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang. Selain perbuatan tersebut melanggar undang-undang, juga melanggar kepentingan umum, kepatutan kesusilaan dan oleh karena perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus memiliki kesalahan baik itu sengaja ataupun lalai, Juga harus Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Dalam pengertian bahwa kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : kerugian materil maupun immaterial. Dan ada hubungan kausalitas atau sebab akibat antara perbuatan dan akibat.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:
1.     Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2.     Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).
3.     Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Jika ditilik dari model KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum lainnya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara – negara lain dalam sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata.
Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas, ditemukan dalam pasal 1367 KUHPerdata. 
C.Ganti Rugi
Hukum mengakui hak-hak tertentu, baik mengenai hak-hak pribadi maupun mengenai hak-hak kebendaan dan hukum akan melindungi dengan sanksi tegas baik bagi pihak yang melanggar hak tersebut, yaitu enggan tanggungjawab membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya. Dengan demikian setiap perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain menimbulkan pertanggungjwaban.
Ganti rugi (legal remedy) adalah cara pemenuhan atau kompensasi hak oleh pengadilan yang diberikan kepada satu pihak yang menderita kerugian oleh pihak lain yang melakukan kelalaian atau kesalahan sehingga menyebabkan kerugian tersebut.
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu:
Ganti rugi karena wanprestasi (Pasal 1240 s.d. 1252 KUH Perdata): ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Pembebanan ganti rugi ini atas perintah pengadilan setelah melalui proses somasi minimal tiga kali.
Ganti rugi karena perbuatan melawan (Pasal 1365 KUH Perdata): ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.27
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum : Suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Seperti dalam kasus Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan melanggar undang-undang, tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama masyarakat terhadap benda orang lain.28
Untuk dapat menuntut ganti rugi berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum, maka syaratnya adalah:
Adanya Perbuatan; Perbuatan yang dimaksud adalah baik perbuatan aktif maupun perbuatan pasif. Perbuatan aktif berarti seseorang melakukan perbuatan secara aktif, yang dengan perbuatan itu merugikan orang lain. Sebaliknya, perbuatan pasif dapat diartikan sebagai dengan tidak melakukan perbuatan apa-apa dapat merugikan pihak lain.
Perbuatan Melawan Hukum dalam hal ini harus diartikan baik Perbuatan Melawan Hukum dalam arti sempit maupun Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas. Secara sempit Perbuatan Melawan Hukum dapat diartikan sebagai melanggar undang-undang, sedangkan secara luas harus diartikan sebagai tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan tapi juga melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Kesalahan; Perbuatan Melawan Hukum itu harus mengandung kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan, yang karena perbuatannya itu kemudian menyebabkan terjadinya akibat (kerugian).
Adanya Kerugian; Kerugian dalam hal ini dapat berupa kerugian materil maupun imateril.
Adanya kausalitas antara Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian; Hubungan antara Perbuatan Melawan Hukum dan kerugian secara kausalitas harus langsung, yaitu Perbuatan Melawan Hukum tersebut yang secara langsung, dan merupakan satu-satunya alasan, yang menyebabkan terjadinya kerugian (Adequate Veroorzaking). Kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan salah dari si pelaku, yang tanpa perbuatannya itu kerugian tersebut tidak akan muncul. Dengan terpenuhinya unsur-unsur diatas, maka seseorang dapat menuntut ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum.
Ganti rugi bisa berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi inmateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian inmateriil adalah suatu kerugian yang tidak benilai uang, seperti rasa sakit, nama baik, dan lain-lain. Untuk menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersebut, untuk itu pada azasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
Untuk itu ganti rugi atas perbuatan melawan hukum dengan menguasai tanah milik orang lain tanpa dasar hak, haruslah memenuhi unsur tersebut di atas dan penuntutan ganti rugi tersebut dapat di tuntut kepada seseorang atau korporasi  melalui pengadilan, badan atau lembaga yang terkait dan berwenang, ataupun langsung kepada yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut dengan upaya mediasi.











BAB III
PEMBAHASAN
A.Upaya Penyelesaian Permasalahan Penguasaan Tanah Tanpa Hak.
Permasalahan mengenai penguasaan tanah tanpa hak merupakan suatu permasalahan yang sangat erat dengan penguasaan atas suatu lahan atau tanah yang masih kosong, namun ada juga penguasaan yang atas tanah yang memang dengan sengaja dilakukan akibat suatu kesamaan asal-usul ataupun bukti kepemilikan, tapi pada dasarnya hanya milik seseorang yang memiliki hak atas tanah tersebut.
Permasalahan ini merupakan suatu permasalahan yang butuh penaganan serius oleh badan peradilan bahkan juga lembaga atau badan-badan terkait lainya dalam melakukan upaya penyelesaiannya. Dan untuk upaya penyelesaiannya tergantung posisi kasusnya, jika yang pihak yang bersengketa itu semuanya belum memiliki sertipikat atau bukti kepemilikan yang sah, dan pemilik sebenarnya masih samar-samar karena para pihak saling mempertahankan hak atas tanah itu, maka siapa yang merasa berhak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (masalah perdata) mengenai gugatan atas kepemilikan atas tanah itu (mencari dan memastikan siapa yang berhak atas tanah itu) atau tuntutan PMH agar dapat diketahui siapa yang menguasai tanah itu secara tanpa hak dan siapa pemilik sebenarnya. Jika pada kasus posisinya kedua belah telah terbit sertipikat (Sertipikat Ganda), maka gugatan dapat diajukan ke PTUN mengenai pembatalan sertipikat. Dan juga ada pihak lain yang belum dan ada yang telah memiliki sertipikat, maka untuk penyelesaiannya tergantun pada posisi kasusnya.
Untuk upaya penyelesaianya semuanya kembali kepada mencari dan memastikan siapa pemilik sebenarnya atah tanah itu dengan melihat bukti-bukti dan asal-usul tanah itu. Untuk itu penyelesaiannya dapat diajukan melalui PN dengan tututan perbuatan melawan hukum yaitu Penguasaan tanpa hak, dan juga tututan agar dapat ditetapkan siapa pemilik sebenarnya. Dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan dapat juga dilakukan sendiri oleh slah satu pihak juga boleh menggunakan orang lain sebagai kuasa.  Kuasa tersebut bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa (untuk masalah perdata dan administrasi serta upaya diluar pengadilan dan mediasi). Makna kata-kata “untuk dan atas namanya”, berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan.29 namun ada yang hanya mewakili atau mendampingi (untuk masalah pidana).
Untuk mekanisme penyelesaian sengketa penguasaan tanah tanpa hak dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Mengajukan Gugatan ke Peradilan Umum (Perdata).
Hukum acara perdata merupakan bagian dari hukum publik mempunyai makna penting, dan oleh karena itu mengandung arti, bahwa dalam mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata materil tersebut adalah merupakan persoalan tata tertib hukum acara menyangkut kepentingan umum.30 Oleh karena itu hukum acara perdata dalam penerapannya untuk melaksanakan hukum perdata materil.
Dalam hukum acara perdata dikenal Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Gugatan PMH), yaitu gugatan ganti rugi karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Pasal 1365 KUHPerdata telah mengakomodasi ketentuan tersebut: bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi atas suatu Perbuatan Melawan Hukum yang merugikannya.
Hubungan antara PMH dan kerugian yang ditimbulkannya itu secara kausalitas harus langsung, yaitu PMH tersebut secara langsung yang menyebabkan terjadinya kerugian, sebagai satu-satunya alasan munculnya kerugian (Adequate Veroorzaking). Kerugian itu harus merupakan akibat dari perbuatan salah dari si pelaku, yang tanpa perbuatannya itu kerugian tersebut tidak akan muncul. Dengan terpenuhinya unsur-unsur di atas maka seseorang dapat menuntut ganti rugi atas dasar Perbuatan Melawan Hukum.
Tuntutan ganti kerugian dapat diajukan melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri setempat, negosiasi antara para pihak, maupun melalui mediasi yang ditengahi oleh seorang mediator. Tuntutan ganti kerugian melalui gugatan perdata dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara pengaduan, penelitian, pencegahan mutasi, musyawarah serta pengadilan.
Proses beracara dalam peradilan umum untuk permasalahan atau sengketa perdata dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.Pengajuan Surat Gugatan (upaya Perdata)
Surat gugatan pada dasarnya berisi dan berpedoman pada Pasal 8 No. 3 BRv : apa yang dituntut kepada tergugat, dasar-dasar tuntutan dan bahwa tuntutan tersebut harus jelas (terang) dan tertentu :
POSITA ialah : Dasar gugatan/de middelen van de eis (Fundamentum petendi).
PETITUM ialah : Hal-hal apa saja yang dituntut/ onderwerp (voorwerp) van de eis (pokok tuntutan). Dalam tuntutan/ petitum merupakan perumusan secara tegas dan jelas terhadap apa yang menjadi tuntutan penggugat terhadap tergugat/para tergugat yang akan diputusan hakim dalam putusannya.31
Setiap proses perkara perdata ke pengadilan negeri dimulai dengan pengajuan surat gugatan oleh penggugat atau wakil/kuasanya.32 Dalam mengajukan gugatan harus di perhatikan tempat pengadilan dimana tergugat tinggal atau benda tak bergerak yang disengketakan itu berada. Dan gugatan di daftarkan ke panitera pengadilan negeri. Selanjutnya membayar biaya perkara dan besar kecilnya uang pendaftaran tergantu pada jarak pemanggilan antara tergugat dan penggugat. Surat gugatan merupakan dasar bagi hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata, oleh karena itu surat gugatan tidak boleh cacat hukum, atau dengan kata lain surat gugatan haruslah sempurna. Surat gugatan yang tidak sempurna berakibat tidak menguntungkan bagi pihak Penggugat, karena hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).33
Setelah gugatan didaftarkan oleh panitera, maka ketua pengadilan negeri menunjukan mejelis hakim untuk memeriksa perkara terebut.  Surat gugatan yang telah ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa Hukumnya dimasukkan untuk didaftarkan di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi (kompetensi absolut dan relatif) untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara (sengketa) yang diajukan dan sekaligus mendaftarkan surat kuasa khusus, apabila dalam perkara tersebut Penggugat mewakilkan kepada orang lain, baik kuasa insidentil ataupun kuasa yang diberikan oleh Advokat, dengan membayar biaya panjar perkara dan biaya pendaftaran surat kuasa.
 Mejelis menetapkan hari persidangan dan memerintahkan memanggil para pihak supaya hadir dipersidangan. Panggilan dilaksanakan oleh jurusita atau petugas lain yang bertindak sebagai jurusita pengganti. 34 Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, kemudian akan diberi nomor dan didaftarkan dalam buku Register setelah penggugat membayar panjar biaya perkara, yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (pasal 121 HIR).
Selanjutnya ketua mejelis kepada para pihak tentang persoalan mereka untuk menawarkan perdamaian. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Prosedur mediasi diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada saat sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak Penggugat dan Tergugat untuk menempuh upaya damai melalui mediator. Apabila upaya perdamaian tidak tercapai pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan memeriksa pokok perkara.35
Pada umumnya atas adanya gugatan penggugat maka pada permulaan beracara menjawab dan jawaban dapat berupa :
a.Pengakuan :
Seluruh atau sebagian dalil-dalil gugatan;
b.Referte :
Tidak membantah atau membenarkan gugatan, jadi terserah kepada hakim , menyerahkan saja pada putusan hakim;
c.Menyangkal/bantahan (verweer) :
Eksepsi
Ten principale.36
 Eksepsi yang biasanya terjadi Eksepsi atau tangkisan mengenai kompetensi (kewenangan) relatif harus diajukan segera pada permulaan persidangan dan tidak akan diperhatikan kalau Tergugat telah menjawab pokok perkaranya. Untuk eksepsi kompetensi (kewenangan) absolute dapat diajukan setiap saat dalam pemeriksaan perkara itu dan hakim karena jabatannya secara ex officio harus pula menyatakan bahwa tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Setelah Tergugat mengajukan jawabannya dan selanjutnya pengajuan Replik oleh Penggugat dan Duplik oleh Tergugat, hakim akan meneliti secara seksama apabila diajukan eksepsi tentang kewenangan mengadili yang bersifat relatif atau absolut, akan terlebih dahulu diputus dengan putusan sela, sebelum memeriksa pokok perkaranya. Apabila eksepsi tersebut beralasan hukum dan Pengadilan Negeri menyatakan tidak berwenang mengadili maka pemeriksaan pokok perkaranya tidak dilanjutkan dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, sebaliknya jika eksepsi tidak beralasan hukum dan ditolak maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dengan pembuktian dari Pihak Penggugat dan Tergugat maupun Turut Tergugat, baik berupa bukti tertulis (surat) maupun bukti saksi, ahli dan bilamana dipandang perlu dilakukan pemeriksaan terhadap obyek sengketa (Pemeriksaan setempat), apabila obyek sengketanya berupa benda tidak bergerak atau benda tetap. Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam proses persidangan karena dalam proses ini sangat menentuka apakan tergugat ataupun penggugat dapat membuktikan dalil-dalil mereka.
Apabila dari serangkaian tahapan atau proses jawab-menjawab, Replik, Duplik dan pembuktian dari masing-mamsing pihak telah selesai, maka para pihak mengajukan dapat mengajukan kesimpulan dan pada akhirnya mohon putusan. Apabila Penggugat mampu membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya maka gugatan Penggugat akan dikabulkan seluruhnya dan apabila terbukti sebagian, maka gugatan Penggugat akan dikabulkan sebagian serta menolak gugatan selain dan selebihnya. Sebaliknya apabila Tergugat mampu mematahkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka gugatan Penggugat akan ditolak seluruhnya. Demikian pula apabila gugatan Penggugat kabur dan secara formil tidak memenuhi syarat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Dan selanjutnya atas putusan PN pihak yang lainnya merasa dirugikan ataupun merasa tidak adil atas putusan tersebut ataupun muncul novum (bukti/keadaan baru), dapat mengajukan Banding ke PT dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan tingkat pertama diumumkan, selajutnya apabila oleh putusan PT tersebut dianggap masih merugikan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan tersebut  dapat melakukan upaya hukum ke tingkat lebih tinggi lagi yaitu MA dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah memori kasasi didaftarkan ke PN yang memutuskan perkara pertama, selanjutnya pihak yang masih merasa dirugikan oleh putusan di tingkat kasasi, masih juga dapat dilakukan PK atas  dengan alasan bahwa putusan MA terdapat kebohongan, tipu muslihat, ketidak adilan, kekhilafan atau kelalaian hakim. Untuk pengajuan permohonan PK adalah 180 (seratus delapan puluh) hari setelah putusan MA. 
    Apabila gugatan tersebut dikabulkan maka pelaksanaan putusan dapat dilakukan setelah putusan itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).  Pelaksanaan putusan pengadilan adalah pelaksanaan atau pengabulan permintaan atau pokok tuntutan (petitum) dalam gugatan baik itu permintaan ganti rugi maupun pembatalan hak tertentu. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan pada tingkat pertama dan kedua apabila terhadap putusan tersebut tidak lagi dilakukan upaya hukum oleh pihak yang kalah, ataupun telah lewat waktu (daluarsa) untuk pengajuan upaya hukum. Pengabulan gugatan atau pelaksanaan putusan hakim tidak boleh melebihi apa yang telah dimintakan atau dituntut dalam surat gugatan.
2.Mengajukan Gugatan ke PTUN (Upaya Hukum Administrasi)
Selain permasalahan yang terjadi dalam lingkup hukum keperdataan, juga dapat dilakukan melalui pengajuan gugatan ke PTUN. Pada dasarnya setiap gugatan yang masuk ke PTUN merupakan gugatan yang berkaitan dengan keputusan tata usaha Negara. Sengketa pertanahan khususnya sengketa yang berkaitan langsung dengan sertipikat hak milik, merupakan sengketa Hukum Administrasi Negara. Terjadinya suatu sengketa karena adanya objek yang disengketakan, artinya ada pangkal tolak sengketa yang timbul akibat adanya tindakan hukum pemerintah. Di dalam kepustakan hukum administrasi, sengketa yang terjadi disebut sengketa administrasi, karena objek yang menjadi sengketa adalah keputusan administrasi (beschikking), yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.37
Di dalam hukum positif Indonesia, kedua alat ukur dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal  53 Undang-Undang dimaksud memuat alasan-alasan yang digunakan untuk menggugat pemerintah atas keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan yang menimbulakan kerugian bagi pihak yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara dimaksud. Secara lengkap Pasal 53 dimaksud adalah sebagai berikut:
Pasal 53
(1)Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
(2)Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.38
Pada dasarnya gugatan yang masuk ke PTUN yang berkaitan dengan pertanahan adalah permasalahan atas sertipikat. Gugatan yang di ajukan ke PTUN merupakan tindak lajut dari upaya administrasi yaitu upaya keberatan administrasi dan banding administrasi yang telah dilakukan penggugat dalam rangka upaya mencari kepastian dan keadilan akan suatu Putusan Tata Usaha Negara.
BPN merupakan pejabat yang membuat serta menerbitkan sertipikat atas tanah. Untuk itu BPN merupakan pihak yang dapat digugat atas setiap permasalahan yang berkaitan dengan penerbitan sertipikat. Gugatan tersebut diajukan dengan tuntutan agar supaya Pengadilan dapat mengadili serta memutuskan pembatalan atas serta sertipikat yang telah di keluarkan BPN. Karena bisa saja penguasaan tanah tanpa hak terjadi bagi orang-orang yang telah menduduki tanah tersebut dengan memohon penerbitan sertipikatnya dengan dokumen-dokumen pendukung yang palsu yang sertipikatnya biasanya di sebut sertipikat ASPAL (asli tapi palsu), juga biasanya terjadi dalam sebidang tanah tersebut memiliki dua atau lebih surat tanah atau sertipikat (sertipikat ganda/tumpang tindih), dan bisa juga mereka menguasai tanah tersebut dengan melakukan pemalsuan sertipikat yaitu sertipikat yang data pembuatannya palsu, tanda tangan kepala kantor pertanahan palsu, serta blanko pembuatannya juga palsu. Dan apabila kedepan pihak-pihak yang terbutkti melakukan hal tersebut di atas ataupun tidak berhak akan tanah tersebut serta kesalahan dari BPN itu sendiri, maka merka yang beritikat buruk dan secara melawan hukum menguasai tanah ataupun melakukan pemalsuan sertipikat tersebut dapat dituntut ganti rugi atas perbuatan itu.
Namun penulis dapat menjelaskan bahwa pengajuan gugatan ke PTUN hanyalah tindak lanjut dari putusan pengadilan umum yang memutuskan sengketa hak milik, Karena biasanya PTUN tidak akan mengadili mengenai gugatan pembatalan sertipikat apabila belum jelas siapa pemilik sebenarnya atas tanah tersebut.
Seseorang atau badan hukum peedata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti rugi. 39
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan pembacaan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh hakim ketua sidang, dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.40
Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal  yang diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim.
Cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung pada kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan kepentingan umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peratun dapat menentukan sendiri :
1.Apa yang harus dibuktikan.
2.Siapa yang harus dibebani pembuktian hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
3.Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.
4.Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Alat bukti terdiri dari : Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan para pihak, Pengetahuan hakim. Pasal 95 UU No. 5 Tahun1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU 51 Tahun 2009). Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dan oleh putusan PN pihak yang lainnya merasa dirugikan ataupun menurutnya tidak adil, maka dapat diajukan Banding ke PT 14 hari setelah putusan Pengadilan tingkat pertama dan pengajuan keberatan harus dituangkan atau ditulis dalam memori banding, kemudian selajutnya dapat dilakukan upaya hukum ke tingkat lebih tinggi lagi yaitu di MA dalam waktu 14 hari setelah permohonan kasasinya didaftarkan di pengadilan tingkat pertama, selanjutnya masih juga dapat dilakukan PK dalam jangka waktu 180 hari setelah putusan MA dibacakan secara sah atas Putusan MA. 
    Pelaksanaan putusan pengadilan diserahkan kepada BPN sebagai badan yang telah mengeluarkan atau menerbitkan sertipikat. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh BPN dapat berupa pembatalan dan juga pencabutan atas sertipikat yang telah diterbitkannya.
    Apabila terjadi permasalahan setipikat yang ganda untuk pembatalan atau pencabutan sertipikat adalah permasalahan yang tidak begitu rumit apabila telah terbukti hak kepemilikan yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri. Batal atau hapusnya suatu hak atas tanah akan mengakibatkan batalnya sertipikat.41
3.Mengajukan Laporan ke Penyidik kepolisian (Upaya Pidana).
Penguasaan tanah tanpa hak selain merupakan suatu perbuatan melawan hukum (istilah perdata), dapat juga disebut Penyerobotan Tanah (istilah pidana). Di dalam Pasal 2 Undang - Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa IzinYang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51 PRP Tahun 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dariyang berhak maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam denganhukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (limaribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 51 PRP 1960.
Pasal-pasal lain yang juga sering dipergunakan dalam tindak pidana penyerobotan tanah adalah Pasal 385ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman pidana paling lama empat tahun,dimana barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband suatu hak tanah yang belum bersertifikat, padahal ia tahu bahwa orang lain yang mempunyai hak atau turut mempunyai hak atau turut mempunyai hak atasnya.42
Seseorang yang merasa dirugikan berhak mengajukan laporan ke kepolisian atau penyidik, untuk kiranya dapat diperiksa atau disidik mengenai permasalahan ini. Untuk itu proses pertama adalah melakukan penyidikan, dan dilakukan oleh penyidik bahkan juga penyidik pembantu/pegawai negeri sipil. Penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Penyelidikan merupakan sub fungsi dan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan.43
Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan perbuatan pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Vide Pasal 109 ayat (1) KUHAP)
Pemberitahuan dimulainya penyidikan dilakukan dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), yang dilampiri :
Laporan polisi
Resume BAP saksi
Resume BAP Tersangka
Berita acara penangkapan
Berita acara penahanan
Berita acara penggeledahan
Berita acara penyitaan.
Proses selanjutnya adalah penyerahan berkas perkara oleh kepolisian ke kejaksaan. Dalam hal penyidikan sudah dinyatakan lengkap (P.21), penyidik menyerahkan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti. Kemudian apabila setelah diperiksa oleh jaksa sudah jelas dan lengkap buktinya, maka jaksa melimpahkan perkara ke pengadilan untuk diperiksa. Namun bisa saja perkara tersebut ditolak atau tidak diterima apabila bukan wewenang pegadilan tersebut. Dalam hal pelaksanaan sidang pengadilan, hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk melakukan pemanggilan kepada terdakwa. Setelah itu Ketua pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara pidana yang bersangkutan. Selanjutnya dalam sidang hakim meminta surat dakwaan ke penuntut umum serta membacakannya. selanjutnya adalah acara pemeriksaan alat bukti (proses pembuktian). Selanjutnya atas dakwaan itu terdakwa diberikan kesempatan untuk membuat pembelaan (pleidoi) ataupun eksepsi. Selanjutnya adalah putusan hakim atau putusan pengadilan. Dan oleh putusan PN pihak yang lainnya merasa dirugikan ataupun merasa tidak adil, terhukum diberi kesempata untuk dapat mengajukan Banding ke PT dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan PN dijatuhkan. Selajutnya dapat dilakukan upaya hukum ke tingkat lebih tinggi lagi yaitu ke MA dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah mengajukan permohonan kasasi. apabila belum atau tidak merasa puas. Selanjutnya masih juga dapat dilakukan PK dan kasasi demi kepentingan hukum atas Putusan MA. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan dibawah pimpinan dan pengawasan Jaksa Penuntut umum. Yaitu dengan pidana penjara/kurungan serta pembayaran denda.
4.Mediasi dan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
a.Mediasi
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien. Hal mana mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak sedikit. Hal ini disebabkan proses penyelesaian sengketa lambat, biaya beracara di pengadilan mahal, pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan sering tidak mampu menyelesaikan masalah dan penumpukan perkara ditingkat Mahkamah Agung yang tidak terselesaikan. Dalam Perma No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu:
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. 44

Berdasarkan uraian tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang terjadi. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur pengintegrasian mediasi kedalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak pada ketentuan pasal 130 HIR maupun pasal 154 R.Bg.
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disingkat Perma 2/2003), yang menetapkan, bahwa pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi. Pelaksanaan mediasi dapat dilakukan dengan cara dan ketentuan sebagai berikut :
Pasal 8
“Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.”
Pasal 9
1)Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.
2)Dalam proses mediasi para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya.
3)Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
4)Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
5)Dengan hasil akhir tercapainya kesepakatan atau ketidaksepakatan, proses mediasi berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator.
Pasal 10
1)Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan.
2)Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Pasal 11
1)Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.
2)Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
3)Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
4)Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan.
5)Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal 12
1)Jika dalam waktu seperti yang ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (5) mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim.
2)Segera setelah diterima pemberitahuan itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku.
Pasal 13
1)Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya.
2)Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan.
3)Mediator tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.
Pasal 14
1)Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain.
2)Proses mediasi untuk sengketa publik terbuka untuk umum.

b.Arbitrase (Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan).
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa” (salanjutnya disebut “UU Arbitrase”), terdapat berbagai pilihan penyelesaian di luar pengadilan yakni Arbitrase dan juga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang terdiri atas: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau penilaian ahli. Arbitrase dan  Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut adalah penyelesaian berjenjang dimana dalam hal Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak dapat menyelesaikan atau memutuskan, maka para pihak akan menempuh cara Arbitrase baik melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Tetapi ketika para pihak telah memperjanjikan jalan penyelesaian melalui arbitrase, maka tertutup kesempatan untuk memilih jalan penyelesaian melalui pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”.45
Menurut Pasal 6 ayat (1) UU Arbitrase, dinyatakan bahwa:
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada itikad baik  dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.46
Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU No. 30 Tahun 1999, para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing dan bila perlu para pihak diwakili oleh kuasanya dengan surat khusus, maka oleh ketua majelis kedua belah pihak dipersilahkan menjelaskan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya tersebut. Apabila dianggap perlu, ketua, baik atas permintaan para pihak maupun atas prakarsa majelis arbitrase sendiri, dapat memanggil saksi atau ahli untuk didengar keterangannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999.
    Apabila majelis menganggap pemeriksaan telah cukup, ketua akan menutup pemeriksaan itu dengan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang akan diambil oleh majelis. Majelis akan mengambil putusannya dalam waktu satu bulan setelah ditutupnya pemeriksaan. Untuk itu semua bentuk upaya penyelesaian atas penguasaan tanah tanpa hak tersebut di atas, upaya perdata yang sering digunakan untuk menyelesaiakan permasalahan ini.
B.Pemberian Ganti Rugi Atas Penguasaan Tanah Tanpa Hak.
Pemberian ganti rugi merupakan hal yang patut atas setiap perbuatan yang merugikan orang lain secara melawan hukum. Pemberian ganti rugi tidak diatur dalam peraturan khusus, namun itu semua tergantung besar kecilnya nilai tafsiran kerugian biaya yang dialami penggugat. Ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang atau perusahaan yang telah melakukan kesalahan kepada pihak yang dirugikan.
Untuk pemberian ganti rugi dapat dilakukan setelah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pemberian ganti rugi dapat dimintakan melalui pengajuan gugatan (dalam Petitum) ke pengadilan. Bagian yang mendukun untuk suatu petitum (pokok tuntutan) adalah posita (dasar tuntutan). “Posita” (dasar gugatan) pada umumnya dalam praktek memuat perihal fakta / peristiwa hukum (rechtfeitan) yang menjadi dasar gugatan tersebut (tentang peristiwanya) serta uraian singkat perihal hukumnya yaitu dalam kaitan dengan terjadinya hubungan hukum tersebut tanpa harus menyebut pasal-pasal perundang-undang atau aturan aturan hukum termasuk hukum adat, sebab hal seperti itu akan di tunjukkan atau dijelaskan oleh hakim dalam putusannya nanti jika dipandang perlu.47
Besar kecilnya ganti rugi ditentukan juga oleh berat ringannya permasalahan penguasaan tanah tanpa hak tersebut. Karena biasanya dalam proses musyawarah dan juga proses teguran sering diabaikan oleh pihak yang beritikat buruk menguasai tanah tanpa hak, sehingga permasalahan tersebut semakin berlarut-larut dan pastinya semakin banyak materi yang harus dikeluarkan. Hal-hal inilah yang menjadi faktor besar kecilnya biaya yang harus dibayarkan kepada pihak yang berhak atas tanah tersebut.
Atas dasar posita yang telah disebutkan di atas, maka dalam surat gugatan ada tuntutan pokok yang harus dilaksanakan oleh pihak yang telah kalah dalam persidangan (pihak yang menguasai tanah tanpa hak). Dalam posita biasanya berisi tuntutan pokok kepada hakim untuk diputuskan, tuntutan tersebut berupa permohonan pengabulan gugatan, permohonan penghukuman kepada salah satu pihak, permohonan pembatalan suatu hak atas tanah, serta permohonan ganti rugi.
Permohonan ganti rugi dapat berupa ganti rugi terhadap biaya nyata yang telah dikeluarkan (materi), misalnya pembayaran biaya yang telah dikeluarkan dalam upaya musyawarah yang telah dilakukukan (semua ogkos yang telah dikeluarkan misalnya biaya perjalanan dalam melakukan upaya damai). Dan kemudian biaya Immateril yang biasanya biaya tersebut tidak bisa dinilai dengan uang tetapi dalam sidang pengadilan biasanya dituntut dengan menggati biaya immaterial dengan uang yang sepantasnya. Dalam permintaan biaya tersebut, hakim melihat apabila permintaan biaya ganti-rugi tersebut dianggap tidak layak atau patut, hakim berwenang untuk membatalkan ataupun mengurangi biaya itu, dengan melihat asas keadilan dan kepatutan.
Untuk jelasnya penulis memberikan contoh surat gugatan dengan permintaan atau tuntutan pokok ganti rugi atas penguasaan tanah tanpa hak.

 























 









































Melalui contoh singkat surat gugatan tersebut di atas, kita dapat melihat bahwa besar kecilnya biaya ganti rugi tergantung pada besar kecilnya objek gugatan, tenggang waktu yang telah diluangkan untuk melakukan upaya penyelesaian permasalahan atas tanah, besar kecil biaya yang telah dikeluarkan dalam upaya musyawarah, dan pertimbangan lain untuk biaya ganti rugi.
Pemberian ganti rugi dapat dikabukan atau dipenuhi setelah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena atas dasar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat dilaksanakan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan. Putusan pengadilan dibedakan atas 3 sifat putusan :
1.Putusan yang bersifat Condemnatoir bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi tertentu.48
2.Putusan bersifat constitutif : bersifat meniadakan atau menciptakan suatu status atau keadaan hukum baru.49
3.Putusan deklaratoir: bersifat menyatakan atau menerangkan keadaan atau peristiwa apa yang sah, termasuk putusan yang bersifat menolak gugatan.
Putusan hakim memuliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, kekuatan eksekutorial. Untuk itu putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial dimana putusan tersebut dapat dijalankan apabila telah memiliki kekuatan hukum tetap.kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa-apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara, termasuk pemberian ganti rugi atas putusan hakim mengenai penguasaan tanah tanpa hak.
    Pemberian ganti rugi pula dapat dilaksanakan apabila telah ada kesepakatan bersama dalam upaya penyelesaian penguasaan tanah tanpa hak melalui upaya mediasi dan juga arbitrase.








BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
1.Upaya penyelesaian permasalahan penguasaan tanpa hak terutama melalui musyawarah atau upaya damai, apabila dalam upaya musyawarah tersebut mengalami jalan buntuh, maka dapat dilakukan melalui upaya pengadilan terutama pegadilan perdata dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN. Juga apabila terjadi penguasaan tanah tanpa hak dengan adanya sertipikat ganda, dapat mengajukan gugatan ke PTUN yang sebelumnya telah melakukan upaya administrasi. Dan melakukan pengecekan apabila terjadi pemalsuan sertipikat juga pemalsuan dokumen pendukung dalam pembuatan sertipikat. Dapat pula diajukan laporan ke penyidik kepolisian dengan dasar laporan melakukan penyerobotan tanah.
2.Pemeberian ganti rugi atas penguasaan tanah tanpa hak adalah tergantung pada besar kecilnya tuntutan ganti rugi yang kita ajukan bersama-sama dengan surat gugatan (dalam pokok tuntutan). Dan besar kecilnya biaya ganti rugi dapat diukur dengan pertimbangan mengenai besar kecilnya objek, tenggang waktunya, banyak biaya yang telah dikeluarkan dalam upaya musyawarah dan semua biaya yang telah dikeluarkan dalam upaya penyelesaian permasalahan ini, serta biaya immateri.
B.Saran
1.Diharapkan kiranya dalam upaya penyelesaian permasalahan pertanahan khususnya permasalahan Penguasaan Tanah Tanpa Hak, hakim yang akan memeriksa perkara harus lebih teliti dan bijaksana agar dalam pemeriksaan serta penjatuhan putusan tidak akan muncul masalah mengenai ketidak adilan dan kepastian hukum, atau setidaknya menghindari terjadi perbuatan anrkis oleh pihak yang dirugikan. Dan bagi masyarakat untuk selalu memperhatikan serta sadar akan hak dan kewajiban agar tidak melakukan hal yang tidak patut seperti menguasai tanah milik orang lain secara tanpa hak dan melawan hukum.
2.Dalam pemberian ganti rugi diharapkan majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk lebih teliti agar dalam menjatuhkan putusan khususnya mengenai pengabulan gugatan yang berkaitan dengan ganti rugi, tidak ada yang merasa dirugikan atau setidaknya tidak menjatuhkan putusan yang tidak adil dan tidak patut.








DAFTAR PUSTAKA
Lieratur :
Ali Achmad Chomzah, SH, hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002
Djaja. S Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa, Nuansa Aulia, Bandung 2008
Elza Syarief, Memutuskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Tanah,KPG, Jakarta, 2012.
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta 1977.
Murad Rusmadi, S,H. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991.
Muchin, Hukum Agraria Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2007.
Prof. Dr. H. Sadjijono, SH., M.Hum, Bab-bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Laksbang PRESSindo,Yokyakarta, 2008.
Riawan Tjandra, Teori Dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Cahaya Adma Pustaka, Yogyakarta 2011
Rinto manulang, Segala Tentang Rumah, Tanah, dan Perijinan, Buku Pintar, Yokyakarta, 2011Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok
Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Revika Aditama, Bandung 2005
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisa Kasus, Rawamangun Jakarta 2004.
Soeparmono, Hukum Acara Perdata Dan Yurisprudensi, Mandar Maju Semarang, 2005.
Tim Pengajar, Bahan Ajar Hukum Acara Perdata, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.UUD 1945
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
KUHPerdata
KUHpidana
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan
Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi Di dalam Pengadilan
Sumber Lainnya :
Sumarto, SH, M.Eng, Penanganan dan Penyelesaian konflik PertanahanDengan Prinsip Win-Win Solution oleh Badan Pertanahan Nasional RI,Direktorat Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI 2012,http://www.google.com/search?q=penanganan+konflik+pertanahan&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox-a
http://www.google.com/search?q=penanganan+konflik+pertanahan&ie=uf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefox
http://dimarzuliaskimsah.wordpress.com/2011/05/24/pendapat-hukum-tentang-pendudukan-tanah-oleh-pihak-yang-tidak-berhak-dan-daluwarsa-perolehan-hak-atas-tanah/
http://leafmyallif.blogspot.com/2012/10/hak-penguasaan-atas-tanah.html
http://trinihandayani.wordpress.com/2010/05/20/penguasaan-benda-bezit/
http://kamusbisnis.com/arti/ganti-rugi/
http://hukum.unmuhjember.ac.id/images/download/modulperdata.pdf

.

Load disqus comments

1 komentar: