BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum, dengan tujuan
Negara menjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam tugas pemerintahannya,
Pemerintah Negara Indonesia menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi
masyarakat yang memerlukan dan membutuhkan bantuan dalam bidang hukum. Dalam
melaksanakan tugas administrasinya, pemerintah dituntun oleh
peraturan-perundang-undangan yang mengatur seluruh kegiatan administrasinya dan
semua pelaksanaan tugas tersebut untuk harus memperhatikan unsur kepentingan
umum, kesusilaan dan kepatutan serta dijalankan dengan asas pemerintahan yang
baik demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Segala urusan pemerintahan dilaksanakan oleh
pemerintah untuk menunjang dan memenuhi kepentingan umum, dan dalam
melaksanakan tugas tersebut, pemerintah secara umum dibagi atas tiga bagian
yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan kesemuannya itu melaksanakan
tugas dalam bidang administrasinya masing-masing. Eksekutif melaksanakan tugas
menjalankan pemerintahan, legislatif menjalankan tugas pembentukan
undang-undang dan yudikatif melaksanakan tugas dalam bidang peradilan.
Dalam hukum Indonesia, untuk menjalankan tugas
administrasinya, khusus untuk pembuatan akta otentik dilakukan oleh Notaris. Notaris adalah Pejabat
Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana
dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris[1].
Notaris diangkat dan di berhentikan oleh menteri.[2] Notaris
otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat
akta di bidang pertanahan (Pasal 15 ayat 2f UUJN).[3]
Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh
pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat
perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat. Bahwa Notaris
berwenang membuat akta otentik, karena diberi kewenangan oleh Undang-Undang,
dan sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak, ahli waris, maupun
sekalian orang yang mendapatkan hak dari akta tersebut. Siapa saja yang
menyangkal terhadap kebenaran dari akta otentik tersebut, maka pihak yang
menyangkal tersebutlah yang membuktikannya, termasuk pihak penyidik.
Dalam pasal 1868 KUHPerdata, Notaris dikenal sebagai
Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang
nomor 30 tahun 2004; Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya
tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam
melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedur yang ditentukan oleh
Undang-undang ( lihat pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban
dan larangan). Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah
“kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan
perbuatan yang dilakukannya menurut Undang-undang yaitu melakukan perbuatan
mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan
hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik, kecuali kalau
Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan
orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan
tidak “kebal hukum”
Mengetahui hal tersebut, bahwa Notaris merupakan
pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena kewenangan tunggal dari pada
Notaris tersebut di atas, maka pasti ada pelanggaran, kejahatan bahkan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris.
Pelanggaran pada jabatan notaris terjadi apabila
notaries melanggar peraturan perundang-undangan, serta etika profesi atau Kode
etik Notaris, kesusilaan, ketertiban umum. Pelanggara terjadi seringkali
terdapat pada prosedur atau pelaksanaan tugas jabatannya, dan juga pada
objeknya yaitu akta Notaris.
Pelanggaran
bahkan kejahatan yang dilakukan oleh Notaris, misalnya dalam Putusan MA No. 1847 K/Pid/2010, dengan kasus posisinya Bahwa ia
Terdakwa Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH.MH pada tanggal 26 Desember 1990 atau
setidak-tidaknya pada waktu lain pada bulan Desember 1990 bertempat di Kantor Notaris Drs. ADE RACHMAN
MAKSUDI,SH Jalan Palang Merah No.56 Medan atau setidak-tidaknya pada tempat
lain yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Medan memalsukan surat Akta Authentik yang
dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai
berikut :
Bermula Terdakwa Drs. ADE
RACHMAN MAKSUDI, SH.MH pada hari Rabu tanggal 26 Desember 1990 di Kantor
Notaris Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH Jalan Palang Merah No. 56 Medan, didatangi
Haji Sugeng Imam Soeparno untuk membuat perubahan-perubahan pada Akta Authentik
No. 132 tanggal 26 Desember 1990, Terdakwa menuliskan perubahan-perubahan dan pengurangan
serta menghilangkan isi yang ada dalam asli/Minuta Akta Yayasan Trie Argo Mulyo
Nomor 132 tanggal 26 Desember 1990 ke dalam selembar kertas kosong. isi Akta
yang telah dirubah Terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. Pada hari Senin
targgal 25 Juni 2007 sekira pukul 11.00 Wib di Kantor Pengadilan Negeri Medan
Jalan Pengadilan No. 08 Kota Medan Propinsi Sumatera Utara Akta Authentik No
132 tanggal 26 Desember 1990 yang seolah-olah sesuai dengan isi Minuta Asli
salinan kedua Akte No. 132 tanggal 26 Desember 1990 yang dibuat oleh Notaris Soeparno,
SH selaku pejabat yang menampung protokol Notaris Drs. Ade Rachman Maksudi, SH.
digunakan oleh saksi Haji Sugeng Imam Soeparno sebagai barang bukti dalam
perkara Perdata di Pengadilan Negeri Medan Nomor 306/Pdt.G/06/PN.Mdn, tanggal
08 September 2006. yang dibuat oleh Terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH.
mengakibatkan kerugian kepada saksi Alwi selaku Direktur Operasional PT.
Pancing Business Centre Medan (pelapor) yaitu kalah dalam sidang perdata nomor
306/Pdt.G/06/PN.Mdn, tanggal 08 September 2006, Akibat dari perbuatan Terdakwa
memalsukan surat Akta Authentik mengakibatkan suatu kerugian.
Dari permaslahan tersebut
diatas dan oleh karena jabatan Notaris memiliki perlindungan hukum yang khusus
serta memberikan hak istemewa yaitu hak kebal hukum atas apa yang dilakukan
dalam jabatannya sesuai dengan undang-undang, bahkan juga dalam hal penyidikan
atas Notaris. Pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh Notaris sering
terjadi namun maslahnya adalah bagaimana cara pembuktian mengenai pelanggaran atau
kejahatan oleh Notaris, semuanya itu tergantung penyidikan atas tidakan yang
dilakukan Notaris. Melalui hal tersebut, Penulis akan membahas mengenai
penyidikan terhadap pelanggaran jabatan Notaris.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana
penyidikan terhadap pelanggaran Notaris dalam pembuatan akta oleh Notaris?
2. Bagaimana
pertanggunjawaban Notaris terhadap pelanggaran dalam pembuatan akta?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui dan memahami penyidikan terhadap pelanggaran notaris dalam pembuatan
akta oleh Notaris.
2. Untuk
mengetahui dan memahami pertanggunjawaban Notaris terhadap pelanggaran dalam pembuatan
akta.
D.
Manfaat
Penulisan
Penulisan
skripsi ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memperdalam
pemahaman dan pengetahuan agar dapat mengetahui penyidikan terhadap pelanggaran
notaris dalam pembuatan akta oleh Notaris.
2. Memperdalam
pemahaman dan pengetahuan agar dapat mengetahui pertanggunjawaban Notaris
terhadap pelanggaran dalam pembuatan akta.
E.
Metode
Penulisan
Dalam
suatu penelitian hukum merupakan suatu keharusan untuk mengunakan suatu metode
penelitian agar lebih mudah dalam hal penyusunannya. Penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data-data sekunder
belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan.
Penelitian
ini bersifat Yuridis Normatif, oleh karena didasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu dengan tujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala
hukum tertentu dan menganalisisnya. Adapun yang menjadi metode-metode dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan
Data
Adapun
jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
menggunakan bahan-bahan pustaka. Dengan demikian data ini bersumber dari
bahan-bahan kepustakaan yaitu :
a. Bahan
Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar
atau Norma dasar, Peraturan Perundang-Undangan, Yurisprudensi, Traktat.
b. Bahan
Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti literatur-literatur rancangan Undang-Undang, hasil-hasil
penelitian, hasil-hasil karya tulis, serta makalah-makalah.
c. Bahan
Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus umum dan kamus hukum.
2. Metode
Pengolahan Dan Analisis Data
Metode yang
digunakan adalah analisis kualitatif yaitu data-data yang terkumpul berkaitan
Jabatan konotariatan lebih khusus terhadap pelanggaran yang dilakukan Notaris
akan diolah dengan cara mensistematisasikan bahan-bahan hukum yaitu dengan
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut. Data yang diolah
kemudian diinterprestasi dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan kontruksi
hukum dan selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif, dimana menguraikan
data-data yang menghasilkan data deskriptif dalam mencapai kejelasan masalah
yang akan dibahas dan untuk mengungkapkan kebenaran yang ada.
F.
Sistematika
Penulisan
Adapun skripsi ini disusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab
I. Pendahuluan. Menguraikan tentang
Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, Metode Penulisan dan
Sistematika Penulisan.
Bab
II. Tinjauan Pustaka.
Menguraikan tentang pengertian Badan Pertanahan
Nasional, pengertian Penyidikan dan
pengertian Notaris
Bab
III. Pembahasan. Menguraikan Pembahasan tentang penyidikan terhadap
pelanggaran dalam pembuatan akta
oleh Notaris.
Bab
IV. Penutup. Yang menguraikan Kesimpulan
serta Saran.
Pada akhir penulisan ini dicantumkan Daftar Pustaka
yang berisikan sumber-sumber bahan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Penyidikan
Penyidikan, kata dasarnya
"sidik", artinya proses mencari tahu, menelusuri, atau menemukan
kebenaran tentang hal yang disidik. Penyidikan adalah Serangkaian tindakan
penyidik yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti
pelaku tindak pidana; proses, cara, perbuatan menyidik. Penyidikan suatu
istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian osporing (Belanda) dan investigation
(Inggris) atau penyiasatan atau
siasat Malaysia. Dalam bahasa Belanda ini sama dengan osporing. Menurut de
Pinto, menyidik (osporing) berarti
‘’pemeriksaan’’ permulaan oleh pejabat-pejabatyang untuk itu ditunjuk oleh
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar
yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Menurut
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahawa
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.[4]
Berbeda dengan definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang dimaksud dengan penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Penyidikan adalah kegiatan Polisi dalam
membuat terang suatu kasus yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang
sah, baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat.
Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau
metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu
penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas
kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu
penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan
bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut
penyidikan.
Dari
penegertian umum di atas, penulis akan mencoba menjelaskan unsur-unsur dalam
ayat ini sebagai berikut:
1. Serangkaian
tindakan penyidik
2. Menurut
cara yang diatur oleh undang-undang
3. Mencari
serta mengumpulkan alat bukti
4. Membuat
terang tindak pidana dan menemukan tersangka.
Penyidikan adalah “serangkaian tindakan
penyidik”. Tindakan dimaksud memiliki arti bahwa penyidikan dimaksud hanya
merupakan tindakan penyidik bukan masyarakat umum yang kadangkala main hakim
sendiri ketika menemukan pelaku kejahatan atau pelanggaran. Penyidikan umumnya
dilakukan oleh anggota kepolisian dan pegawai negeri tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang (Pasal 1 ayat 1 KUHAP). penyidikan adalah
sebuah proses awal dari serangkaian tindakan aparat hukum dalam upayanya
membuktikan bahwa telah terjadi tindakan yang dilakukan oleh tersangka. Dengan
demikian tentu saja bahan-bahan yang akan ditanyakan kepada tersangka selalu
mengarah kepada upaya yang bersifat menekan.
Di atas sudah dijelaskan siapa yang disebut
penyidik, yaitu orang yang melakukan penyidikan yangterdiri dari pejabat
seperti dijelaskan Pasal 1 butir 1. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi
dalam pasa 6 KUHAP. Akan tetapi, di
samping apa yang diatur dalam pasal 1 butir 1 dan pasal 6, terdapat lagi
pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.
Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari
hukum acara pidana ialah mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu
kebenaran menurut fakta yang sebenarnya. Fungsi penyidikan adalah untuk mencari
dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu
kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak
pidana tertentu telah dilakukan. Tujuan pertama-tama dalam rangka penyidikan
adalah mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan, hal ikhwal, bukti dan
fakta-fakta yang benar mengenai peristiwa yang terjadi. Berdasarkan atas fakta
ini kemudian dicoba membuat gambaran kembali apa yang terjadi. Fakta-fakta yang
masih kurang dicari untuk dilengkapi sehingga gambaran peristiwa yang telah
terjadi tersebut akhirnya menjadi lengkap.[5]
Selanjutnya aparat hukum menentukan kepastian
perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana berdasarkan undang-undang pidana
dengan cara memperoleh bukti-bukti kuat bahwa pelaku benar-benar melakukannya.
Dengan dimualainya penyidikan ditandai secara formal procedural dikeluarkannya
surat perintah oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik sekaligus
diterimanya laporan atau pengaduan ataupun informasi tentang telah terjadinya
perbuatan pidana di lapangan.
Selain Pengaturan mengenai penyidikan
terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan
dalam Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyatakan defenisi yang sama mengenai penyidik.
Dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri, pada pasal 16 dinyatakan bahwa dalam rangka
menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang untuk :
a) Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b) Melarang
setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian Perkara untuk
kepentingan penyidikan;
c) Membawa
dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d) Menyuruh
berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memriksa tanda pengenal
diri;
e) Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
f) Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g) Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h) Mengadakan
penghentian penyidikan;
i)
Menyerahkan berkas
perkara kepada penuntut umum;
j)
Mengajukan permintaan
secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk
melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak
pidana;
k) Memberikan
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta
menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum;
l)
Mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan
dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi
hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yana menyangkut
penyidikan adalah :
1. Ketentuan tentang alat-alat
penyidik.
2. Ketentuan tentang diketahui
terjadinya delik.
3. Pemeriksaan di tempat kejadian.
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
5. Penahanan sementara.
6. Penggeladahan.
7. Pemeriksaan atau interogasi.
8. Berita acara (penggeladahan,
interogasi dan pemeriksaan di tempat).
9. Penyitaan.
10. Penyidikan
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut
umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan[6]
Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang
yang berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan,
ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi maupun
kepangkatan seseorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6
dimaksud, yang berhak diangkat sebagai penyidik [7]:
1. Pejabat
Penyidik Polri
Menurut
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan
melakukan penyidikan ialah “Pejabat Polisi Negara”. Memang dari segi
diferensiasi funsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan
kepada instnsi kepolisian.[8] PP
No. 27 Tahun 1983 jo pp 58 tahun 2010, Bab II menjelaskan tentang syarat
kepangkatan dan syarat kepangkatan pejabat penyidik kepolisian diuraikan
sebagai berikut:
a. Pejabat
Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang
dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat
kepangkatan dan pengangkatan,
·
Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi
·
Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua
apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang
berpangkat Pembantu Letnan Dua,
·
Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian R.I.
b. Penyidik Pembantu
Pejabat polisi yang dapat diangkat
sebagai “penyidik pembantu”, diatur dalam PP no 27 tahun 1983 jo pp no 58 tahun
2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai
pejabat penyidik pembantu :
·
Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi
·
Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara
dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a),
·
Diangkat oleh Kepala R.I. atas usul komandan atau pimpinan kesatuan
masing-masing.[9]
2. Penyidik
Pegawai Negeri Sipil
Penyidik pegawai negeri sipil ini
diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai
fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki
bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan
sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Sesuai dengan
pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 yang berbunyi:
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat 1
huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan
hukumnya masing-masing dan dalam pelakasanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Berikut kedudukan dan wewenang
penyidik pegawai negeri sipil:
a) Penyidik pegawai negeri sipil
kedudukannya berada di bawah:
·
Koordinasi penyidik Polri, dan
·
Di bawah pengawasan penyidik Polri.
b) Penyidik Polri memberikan petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat1).
c) Penyidik pegawai negeri tertentu,
harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang
sedang di disidiknya (Pasal 107 ayat 2).
d) Apabila penyidik pegawai negeri
sipil telah selesai, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum
melalui penyidik Polri ( Pasal 107 ayat 3)
e) Apabila penyidik pegawai negeri
sipil mengehntikan penyidikan yang telah dilaporkannya pada penyidik Polri maka
penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan
penuntut umum (Pasal 109 ayat 3).
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi
penyidikan, Pasal 7 ayat
(1) KUHAP menjelaskan bahwa:
Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang
:
a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana;
b.
Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian;
c.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.
Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.
Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
h.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.
Mengadakan penghentian penyidikan;
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Dalam pasal 6 ayat 2 menjelaskan bahawa “Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a” dan ayat tiga menjelaskan bahwa, “Dalam
melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.”
Pasal 8
1)
Penyidik membuat berita acara tentang
pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak
mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
2)
Penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
3)
Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dilakukan:
a.
Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan
berkas perkara.
b.
Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,
penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada
penuntut umum.
Dalam
pembicaraan tata cara pemeriksaan, permasalahan difokuskan sepanjang hal-hal
yang menyangkut persoalan hukum. Masalah teknis pemeriksaan samasekali di luar
jangkauan kita, karena masalah teknis pemeriksaan berada dalam ruang lingkup
ilmu penyidikan kejahatan. Sebagaimana diketahui, titik pangkal pemeriksaan
dihadapan penyidikan ialah oknum tersangka. Dari dialah akan diperoleh
keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi
sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus
diperlukan akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang
memiliki harkat martabat diri. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannya itulah
pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan
prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption
of innocent) sampai diperoleh keputusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Pada suatu pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya
tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan
saksi-saksi atau ahli, demi untuk terangnya dan jelasnya peristiwa pidana yang
disangkakan kepada tersangka. Namun, sedangkan kepada tersangka harus
ditegakkan harkat martabat dan hak-hak asasinya.[10]
2.
Pelanggaran
Pembutan Akta
Akta Notaris
adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan notaris menurut bentuk dan
tata carayang ditetapkan dalam undang-undang ini.[11]
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris
menurut KUH Perdata Pasal
1870 dan HIR
Pasal 165 (Rbg 285) yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat.
Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan
dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Berdasarkan KUH Perdata
pasal 1866 dan HIR 165, akta notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat
pembuktian yang utama sehingga dokumen ini merupakan alat bukti persidangan
yang memiliki kedudukan yang sangat penting.
Dalam pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa
: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.”[12]
Akta otentik pada hakikatnya memuat
kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada
Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang
termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan
kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi
Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.
Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau
tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris yang kini berlaku
sebagian besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan
zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan
perundang-undangan nasional, yaitu:
1. Reglement
Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir
dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
2. Ordonantie
16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil NotarisSementara (Lembaran
Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.[13]
Dalam Undang-Undang ini diatur secara
rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai akta otentik
merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang
ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta,
Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.[14]
Dalam pembuatan akta, Notaris harus
memperhatikan bentuk dan sifat akta seperti yang tertulis dalam Pasal 38 UUJN.
Selanjutnya agar tidak terjadi pelanggaran dalam pembutan akta penghadap atau
pemohon dan Notaris harus memperhatikan:
Pasal
39
1) Penghadap
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling
sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b. cakap
melakukan perbuatan hukum.
2) Penghadap
harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang
saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua)
penghadap lainnya.
3) Pengenalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.
Untuk
tindak lanjut dari persyaratan tersebut diatas, dalam Pasal 40 UUJN menjelaskan
:[15]
Pasal 40
1) Setiap
akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi,
kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.
2) Saksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling
sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
b. cakap
melakukan perbuatan hukum;
c. mengerti
bahasa yang digunakan dalam akta;
d. dapat
membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e. tidak
mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan
derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.[16]
Pasal 42 UUJN menjelaskan Akta Notaris
dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus
dan tidak menggunakan singkatan. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris
dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam
bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. Semua bilangan untuk
menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan
tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan
angka. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat
kuasa yang belum menyebutkan nama penerima kuasa.
Akta ditulis dalam bahasa Indonesia.
Dalam hal penghadap ataupun saksi tidak dapat mengerti isi akta tersebut, Notaris
wajib menjelaskannya. Jika dalam hal akta dibuat dalam bahasa lain maka notaris
berkewajiban untuk menerjemahkannya atau bisa juga dengan penerjemah yang
ditujuk secara resmi. Setelah akta di
bacakan, akta tersebut ditandatangani oleh penghadap, saksi dan Notaris, jika
akta tersebut diterjemakan oleh Penerjemah resmi, maka ia pun harus
menandatangani akta tesebut. Selanjutnya dalam Pasal 48 menerangkan bahwa Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik
berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan
menggantinya dengan yang lain. Perubahan atas akta berupa penambahan,
penggantian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut
diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Secara prinsip, notaris bersifat pasif
melayani para pihak yang menghadap kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat
atau menuliskan dalam akta apa-apa yang diterangkan para pihak, tidak berhak
mengubah, mengurangi atau menambah apa yang diterangkan para penghadap.
Pelanggaran adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau
peraturan yang telah ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung
hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan
Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang
harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.
Mengenai pelanggaran Notaris dalam
pembuatan akta, yaitu mengenai pelanggaran terhadap kode etik dan terhadap
Undang-undang Notaris. Dalam UUJN bahkan kode etik mengatur mengenai kewajiban
dan larangan serta sangsi-sangsinya. Pelanggara terhadap kewajiban dan larangan
tersebut oleh Notaris di kualifikasikan sebagai pelanggara dalam jabatan
Notaris.
3. Notaris
Di
Indonesia, Notaris sudah dikenal semenjak zaman Belanda, ketika menjajah
Indonesia. Istilah Notaris berasal dari kata Notarius, yang dalam bahasa Romawi
kata tersebut diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis.
Selain pendapat tersebut di atas ada juga yang berpendapat bahwa nama notarius
itu berasal dari perkataan notaliteraria yaitu yang menyatakan sesuatu
perkataan. Di dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan di Belanda
selanjutnya menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan Notariat yang
diberlakukan di Indonesia.[17]
Asal
usul istilah Notaris berasal dari kata Latin, notarius, yang artinya
“penulis, panitera pada pengadilan gereja.” Menurut Black’s Law Dictionary,
kata asal dari notarius adalah nota, yang berarti suatu karakter
atau tanda. Dari Istilah notarius ini kemudian berkembang menjadi
notaris atau yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah “notary public”, yang sering juga disingkat sebagai notary[18].
Kehadiran
Notaris sebagai Pejabat Publik adalah jawaban dari kebutuhan masyarakat akan
kepastian hukum atas setiap perikatan-perikatan yang mereka lakukan, tentunya
perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha perdagangan.
Notaris adalah satu-satunya pejabat yang diberi wewenang umum untuk membuat
akta perikatan, selagi belum ada Undang-Undang yang mengatur perihal pembuatan
akta tertentu dengan pejabat khusus di luar Notaris. Seperti Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). [19]
Sebelum berlakunya undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau
yang sering disingkat UUJN, peraturan jabatan notaris masih bersifat kolonial
dan tidak terkodifikasi dengan baik. Adalah Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesie (Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia) sebagaimana diatur dalam
Staatsblad No.1860:3 yang menjadi peraturan jabatannya.[20]
Barulah di tanggal 6 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. Diundangkannya UUJN ini tentu saja disambut baik oleh
kalangan Ilmu Hukum, Hukum Notariat, dan masyarakat pada umumnya terlebih lagi
mereka yang biasa menggunakan layanan dari notaris. Sambutan tersebut adalah
wujud kegembiraan karena Notariat, dalam posisi Pejabat Notaris dan Hukum
Notaris secara umum kini lebih efisien menuju kodifikasi yang positif.
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia Notaris adalah orang yg mendapat kuasa dr
pemerintah (dl hal ini Departemen Kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan
berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta.
Notaris itu adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang
membuat akta otentik, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Notaris diberi wewenang untuk
membuat , terutama di bidang instrumen otentik : orang-orang
dan keluarga ( penyusunan perjanjian pranikah , surat wasiat , akta cerai ,
sertifikat warisan, dll), nyata
hal yang benar (membuat instrumen pengiri akta hipotek , instrumen dalam konteks pelelangan umum,
dll ) hak
hukum (membuat dokumen pendirian, perubahan undang-undang,
instrumen transfer dan
isu (issue) saham, sertifikat merger dan berpisah dan sejenisnya.
Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenagan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini. [21]
Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai
pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 1 juncto pasal 15
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.[22] Notaris
merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum
kepada masyarakat perlu mendapat perlindungan dan jaminan demi tercapainya
kepastian hukum.[23]
Notaris adalah pejabat umum satu-satunya
yang berwenang untuk membuat akte otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian
dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akte otentik, menjamin
kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya,
dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuannya sepanjang akta itu
oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.[24]
Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 UUJN. Kedudukan notaris sebagai
pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada notris tidak pernah diberikan
kepada pejabat lainnya, selama-sepanjang kewenagan tersebut tidak menjadi
kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya,
maka kewenagan tersebut menjadi kewengan notaris.[25]
Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris
berwenang pula :
a. Mengesahkan
tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan
surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat
kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan
pengesahan kecocokan fotokopi dengan aslinya;
e. Memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta risalah lelang.[26]
Dalam Pasal 16 UUJN
menjelaskan bahwa:
(2)
Dalam menjalankan jabatannya,
Notaris berkewajiban:
a. bertindak
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum;
b. membuat
akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol
Notaris;
c. mengeluarkan
Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
d. memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan
untuk menolaknya;
e. merahasiakan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali
undang-undang menentukan lain;
f. menjilid akta
yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari
50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku,
akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah
Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. membuat
daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat
berharga;
h. membuat
daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta
setiap bulan;
i.
mengirimkan daftar akta
sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan
wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
j.
mencatat dalam repertorium
tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. mempunyai
cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang
melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l.
membacakan akta di hadapan
penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;[27]
Dalam melakukan tugas jabatannya,
Notaris dilarang untuk :
1.
menjalankan jabatan di
luar wilayah jabatannya;
2.
meninggalkan wilayah
jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang
sah;
3.
merangkap sebagai
pegawai negeri;
4.
merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5.
merangkap jabatan
sebagai advokat;
6.
merangkap jabatan sebagai pemimpin atau
pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha
swasta;
7.
merangkap jabatan
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
8.
menjadi Notaris
Pengganti; atau
9.
melakukan pekerjaan lain yang bertentangan
dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan
martabat
jabatan Notaris.[28]
Dari apa yang dikemukakan pasal tersebut
terlihat dengan jelas bahwa tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik,
adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah “suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akte itu
dibuatnya.” [29]
Kewenangan notaris disamping diatur
dalam pasal 15 UUJN, juga ada kewenangan yang ditegaskan dalam peraturan
perundang-undangan yang lain (diluar UUJN) dalam arti peraturan
perundang-undangan yang bersangkuta menyebutkan-menegaskan agar perbuatan hukum
tertentu wajib dibuat dengan akta notaris. [30]
Notaris sebagai pejabat umum diangkat
oleh Negara, bekerja juga untuk kepentingan Negara namun notaris bukanlah
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya menerima
honorarium atau fee dari klien. Dan dapat dikatakan bahwa Notaris adalah
pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah. Notaris
dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari
pemerintah.[31]
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.
Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain
akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan tetapi juga karena dikehendaki
oleh para pihak yang berkepentingan
untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat
secara keseluruhan. [32]
Jabatan Notaris, selain sebagai jabatan
yang menggeluti masalah-masalah teknis hukum, juga harus berpartisipasi aktif
dalam pembangunan hukum Nasional, oleh karena itu notaris harus senantiasa
selalu menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh. Untuk itu
(terutama sekali dalam rangka peningkatan jasa pelayanannya) Notaris harus
selalu mengikuti perkembangan hukum nasional, yang pada akhirnya notaris mampu
melakukan profesinya secara proporsional.
Notaris dalam melakukan tugasnya
melaksanakan jabatanya dengan penuh tanggung jawab dengan menhayati keseluruhan
martabat jabatanya dan dengan keterampilan melayani kepentingan masyarakat yang
meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika,
ketertiban umum, dan berbahsa Indonesia dengan baik. [33]Dalam
melaksanakan tugasnya, Notaris harus berpegang tegu pada kode etik jabatan
notaris. Apabila tidak ada kode etiknya, maka harkat dan martabat
profesionalisme akan hilang sama sekali.
Kaidah-kaidah yang wajib dipegang oleh
notaris, diantaranya :
6. Kepribadian
Notaris, hal ini dijabarkan kepada :
1.1. Notaris
sebagai Pejabat Umum dalam melaksanaka tugasnya dijiwai pancasila, sadar dan
taat kepada hukum peraturan jabatan Notaris, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan
berbahasa Indonesia dengan baik.
1.2. Notaris
dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku professional dan ikut serta
dalam pembangunan nasional khusus di bidang hukum
1.3. Notaris
berkepribadian baik dan menjujung tinggi martabat kehormatan Notaris, baik di
dalam maupun di luar jabatannya.
2. Dalam
menjalankan tugasnya, Notaris harusnya:
2.1. Notaris
dalam melakukan tugas jabatannya menyadari kewajibannya, bekerja sendiri,
jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.
2.2. Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya menggunakan satu kantor yang telah
ditetapkannya sesuai dengan Undang-undang dan tidak mengadakan kantor cabang
perwakilan dan tidak mengunakan perantara-perantara.
2.3. Notaris
dalam melakukan tugas jabatannya tidak mempergunakan mass media yang bersifat
promosi.
3. Dalam
hubungan Notaris dengan klien, Notaris harus:
3.1. Notaris
dalam melakukan tugas jabatannya memberikan pelayanan hukum kepada
masyrakatyang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya.
3.2. Notaris
dalam melakukan tugas jabatannya memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai
kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat agar masyarakat menyadari dan
menghayati hak dan kewajibanya sebagai warga Negara dan anggota masyarakat.
3.3. Notaris
memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang kurang mampu dengan
cuma-cuma.
4. Notaris
dengan sesama rekan Notaris :
4.3. Notaris
dengan sesama rekan Notaris hendaklah hormat menghormati dalam suasana
kekeluargaan.
4.4. Notaris
dalam melakukan tugas jabatannya tidak melakukan perbuatan ataupun persaingan
yang merugikan sesama rekan Notaris, baik moral maupun materil dan menjauhkan
diri dari usaha-usaha untuk mencari keuntungan dirinya semata-mata.
4.5. Notaris
harus saling menjaga dan membela kehormatan dan nama baik korp Notaris atas
dasar rasa solidaritas dan sikap saling tolong menolong secara konstruktif.[34]
Notaris dan orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris wajib :
1. Memiliki
moral, akhlak serta kepribadian yang balk.
2. Menghormati
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4. Bertindak
jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
5. Meningkatkan
ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum
dan kenotariatan.
6. Mengutamakan
pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7. Memberikan
jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak
mampu tanpa memungut honorarium.
8. Menetapkan
satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya
kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan
sehari-hari.
9. Memasang
1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan
ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat :
a. Nama
lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal
dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat
kedudukan;
d. Alamat
kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna
hitam dan tulisan di papan nama harus ielas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan
kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10. Hadir,
mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan
oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan
Perkumpulan.
11. Membayar
uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12. Membayar
uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.
13. Melaksanakan
dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan.
14. Menjalankan
jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan
di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.
15. Menciptakan
suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan
sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling
menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin
komunikasi dan tali silaturahmi.
16. Memperlakukan
setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau
status sosialnya.
17. Melakukan
perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati
dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum
dalam :
a. UU
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan
Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c. Isi
Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Larangan
Pasal
4
Notaris dan orang lain yang memangku
clan menjalankan jabatan. Notaris dilarang :
1. Mempunyai
lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
2. Memasang
pagan Hama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor Notaris" di
luar lingkungan kantor.
3. Melakukan
publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan
nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam
bentuk
a. Iklan;
b. Ucapan
selamat;
c. Ucapan
belasungkawa;
d. Ucapan
terima kasih;
e. Kegiatan
pemasaran;
f. Kegiatan
sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olahraga;
4. Bekerja
sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara
untuk mencari atau mendapatkan klien.
5. Menandatangani
akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain.
6. Mengirimkan
minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
7. Berusaha
atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya,
baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui
perantara orang lain.
8. Melakukan
pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan
dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat
akta padanya.
9. Melakukan
usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah
timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
10. Menetapkan
honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium
yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11. Mempekerjakan
dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan
terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
12. Menjelekkan
dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang
Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat
yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau
membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan
sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak
bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13. Membentuk
kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif dengan tujuan untuk
melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan
bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14. Menggunakan
dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
15. Melakukan
perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap
Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada
pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris;
b. Penjelasan
pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c. Isi
sumpah jabatan Notaris;
d. Hal-hal
yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan
lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh
dilakukan oleh anggota.
Notaris adalah suatu jabatan yang
dibebani kewajiban untuk menjaga kerahasiaan isi akta dan keterangan yang
diberikan berkaitan dengan aktaaktayang dibuatnya. Hal ini dapat disimpulkan
dalam ketentuan pasal-pasal yang lain dalam UUJN, antara lain:
1
Pasal 4 ayat (2) UUJN
(Sumpah Jabatan) yang menyatakan bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya;
2
Pasal 16 ayat (1) huruf
e UUJN yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib
merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan
yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan Sumpah Jabatan, kecuali
undang-undang menetukan lain.
3
Pasal 54 UUJN
menyatakan bahwa Notaris hanya memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan
isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta kepada orang yang
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang mempunyai hak
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Pada
dasarnya, menyimpan minuta akta itu adalah kewajiban Notaris, sehingga Notaris
seharusnya menyimpan sendiri Protokol Notaris (yang berisi minuta akta) dan
tidak membiarkan Protokol Notaris dipegang oleh pegawainya. Ini karena Protokol
Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan
dan dipelihara oleh Notaris (Pasal 1
angka 13 UU Jabatan Notaris).
Ruang lingkup pelaksanaan jabatan
Notaris yaitu membuat alat bukti yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu
tindakan hukum tertentu, dan alat bukti tersebut berada dalam tataran hukum
perdata, bahwa Notaris membuat akta karena permintaan dari para penghadap, dan
tanpa ada permintaan dari penghadap, Notaris tidak akan membuat akta apapun,
dan Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti, keterangan dan
pernyataan para penghadap. Notaris juga
memberikan nasihat hukum kepada penghadap menyangkut persoalan persoalan yang
akan dituangkan dalam akta nantinya.
Apapun yang akan dituangkan nantinya merupakan kehendak dari para pihak
yang datang menghadap dan bukan berasal dari keinginan dari Notaris secara
pribadi yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam
Pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN yakni :
“Memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali ada alasan
untuk menolaknya.”
Pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN mengandung
arti, seorang Notaris tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan apabila hal
itu diminta kepadanya oleh orang yang membutuhkan jasa Notaris, kecuali dalam
hal terdapat alasan yang berdasar untuk itu.
Notaris dapat menolak memberikan
bantuannya yaitu apabila :
1. Notaris
sakit atau berhalangan, karena sudah ada janji terlebih dahulu dengan pihak
lain;
2. Penghadap
tidak dikenal oleh Notaris, identitasnya tidak ada, dan Notaris merasa
ragu-ragu terhadap akibat pembuatan akta tersebut;
3. Notaris
tidak dapat memahami keterangan penghadap yang akan dituangkan ke dalam akta;
4. Kehendak
para pihak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan;
5. Permintaan
bantuannya itu ada kaitannya dengan Pasal 52 dan Pasal 53 UUJN, yaitu Notaris
ada hubungan keluarga dekat dengan para penghadap, atau akta yang akan dibuat
itu ada kaitannya dengan suatu keuntungan kepada Notaris atau saksi atau
keluarga mereka.
Pasal 52 ayat 1 UUJN
Notaris tidak diperkenankan membuat akta
untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta
dalam garis kesamping sampai dengan derat ketiga, serta menjadi pihak untuk
diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.”
Pasal 53 UUJN
Akta
Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak
dan/atau keuntungan bagi :
a. Notaris,
isteri atau suami Notaris;
b. Saksi,
isteri atau suami saksi; atau,
c. Orang
yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan
darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun
hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.”[35]
Atas pelangaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh
Notaris, pihak yang berwenang untuk mengawasi tugas Notaris adalah Menteri,
yakni Menteri Hukum dan HAM. Untuk melaksanakan lebih lanjut pengawasan
Notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi notaris, dan ahli/akademisi (Pasal
67 ayat (2) dan (3) UUJN).
Dalam hal pengawasan, UUJN menegaskan bahwa:
1.
Pengawasan
atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
2.
Dalam
melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk
Majelis Pengawas.
3.
Majelis Pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas
unsur:
a.
pemerintah
sebanyak 3 (tiga) orang;
b.
organisasi
Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c.
ahli/akademisi
sebanyak 3 (tiga) orang.
4.
Dalam hal
suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang
ditunjuk oleh Menteri.
5.
Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan
jabatan Notaris.
6.
Ketentuan
mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris
Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara
Notaris.
Majelis
Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) terdiri atas:
a. Majelis
Pengawas Daerah;
b. Majelis
Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat.
Majelis
Pengawas Daerah berwenang:
a.
menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan jabatan Notaris;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap Protokol
Notaris secara berkala 1(satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang
dianggap perlu;
c.
memberikan izin cuti
untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d.
menetapkan Notaris
Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e.
menentukan tempat
penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah
berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f.
menunjuk Notaris yang
akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g.
menerima laporan dari masyarakat mengenai
adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam
Undang-Undang ini; dan
h.
membuat dan
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.[36]
Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
a. menyelenggarakan
sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan
melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. memanggil
Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. memberikan
izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d
d. memeriksa
dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang
diajukan oleh Notaris pelapor;
e. memberikan
sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
f. mengusulkan
pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian
sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2) pemberhentian
dengan tidak hormat.
g. membuat
berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
huruf e dan huruf f.[37]
Majelis
Pengawas Pusat berwenang :
a. menyelenggarakan
sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap
penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. memanggil
Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
dan
d.
mengusulkan pemberian
sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.[38]
Dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia
(INI), pada Januari 2005 di Bandung, ditetapkan Kode Etik Notaris yang
didasarkan pada Undang-Undang Jabatan Notaris, sehingga ada sanksi yang jelas
bila terjadi pelanggaran Kode Etik yang berupa:
1. Teguran;
2. Peringatan;
3. Schorsing
(pemecatan sementara) dari keanggotaan
Perkumpulan;
4. Onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan
Perkumpulan;
5. Pemberhentian
dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
Menurut Winanto Wiryomartani, S.H., M.H.,
notaris senior yang juga anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris, notaris adalah
pejabat umum untuk melayani masyarakat. Jadi, dalam rangka pembuatan akta
otentik oleh notaris, masyarakat wajib dilindungi. Untuk itulah makanya diciptakan
majelis pengawas yang fungsinya melindungi masyarakat jika terjadi
"malpraktek" oleh notaris. Pengawasan ini tujuannya adalah pencegahan
terhadap terjadinya pelanggaran yang merugikan masyarakat.[39]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Penyidikan
Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta Oleh Notaris.
Dalam
hukum pidana Indonesia khusunya dalam proses beracara, pemerintah menetapkan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, sebagai panduan bagi para penegak hukum bahkan masyarakat untuk
penegakan hak dan kewajiban bahkan kepastian hukum untuk orang-orang yang ingin
beracara dalam perkara pidana.
Hukum
pidana di Indonesia terbagi atas dua yaitu hukum pidana materil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materil yaitu hukum yang mengatur kejahatan dan
pelanggara bahkan sangsi-sangsinya. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum
pidana yang mengatur cara bagaimana mempertahankan hukum pidana materil. Hukum
pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan tindak
pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syara bilamana seseorang itu
menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan
ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan bilamana
seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, dan bilamana hukuman
tersebut dapat dijatuhkan. Hukum pidana formilo itu mengatur bagaimana caranya
Negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk
menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana. [40]
Tiada
pidana tanpa kesalahan (Belanda: Geen
Straf sonder schuuld). Ini merupakan salah satu asas yang dianut dalam
Hukum Pidana Indonesia. Asas ini menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat
dihukum atas perbuatannya apabila pada dirinya terdapat kesalahan.[41] Asas kesalahan di sini diartikan sebagai Tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut
yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya.[42]
Tiada pidana tanpa kesalahan berarti
untuk pemidanaan tidak hanya diisyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak
patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut itu dapat di
celakan kepadanya.[43]
Untuk itu dapat disimpulkan cirri dan unsur kesalahan dalam arti yang luas,
yaitu:
1. Dapat
dipertanggungjawabkan pembuat;
2. Adanya
kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan adanya kesengajaan atau kesalahan
dalam arti sempit (culpa)
3. Tidak
ada dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan
sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Unsur-unsur
kelasalahan terdiri dari tiga bagian:
1. Kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
dari pelaku;
2. Sikap
batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya
kesengajaan atau kealpaan; dan
3. Tidak
ada alasan yang menghapus kesalahan atau menghapus pertanggungjawaban pidana
pada diri pelaku.[44]
Selain ada unsur kesalahan yang terdapat pada
pelaku, hukum pidana pun mengatur tentang sifat melawan hukum. Dalam menentukan
perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan
hukum (jadi yang tertulis) sebagai unsur yang tertulis.[45]
“melawan hukum” itu sendiri bermacam-macan, ada yang mengartikan sebagai “tanpa
hak sendiri” (sonder eigen recht),
“Bertentangan dengan hak orang lain” (tegen
eens anders recht), “bertentangan dengan hukum objektif” (tegen het
objective recht).[46]
Dalam
kualifikasi hukum pidana materil, terdapat kesalahan dan sifat melawan hukum
dimana kesalahan terbagi atas kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan ini
berarti pada waktu melakukan perbuatan, pelaku menghendaki (willen) perbuatan dan atau akibat
perbuatannya juga mengetahui atau mengerti (weten)
hal-hal tersebut.[47]
Sedangkan keapaan adalah perbuatan dimana seseorang melakukan perbuatan
tersebut seharusnya dapat menduga akan akibat yang ditimbulkan, atau melakukan
perbuatan tersebut dengan tidak hati-hati.
Dalam
hal seseorang melakukan tindak pidana, baik kehatan ataupun pelanggaran, maka
semuannya harus dipertanggungjawabkan oleh pembuat itu sendiri, kecuali ada
alas an pembenar dan pemaaf. Pertanggung jawaban pidana di Indonesia di
tegakkan oleh penegak hukum seperti yang tercantum dalam hukum pidana, yaitu
oleh polisi, hakim, jaksa, dan pengacara (advokad). Untuk itu dalam hukum acara
formil mengatur menganai penegakan hukum pidana materil, dimana mengatur tugas
dan tanggung jawab penegak hukum dalam mempertahankan hak-haknya.
Dalam
hal terjadi pelanggaran Hukum pidana, maka penegak hukum bertidak untuk membela
kepentingan publik dan telah diatur untuk proses bercaranya Dalam KUHAP. Proses
beracara pertama-tama diawali dengan Penyelidikan yaitu proses mencari atau
mengidentifikasi terjadinya tindak pidana. Dan pada selanjutnya dilakukan
Penyidikan yaitu mencari alat bukti sehingga membuat terang suatu tindak pidana
guna menemukan tersangkanya.
Dalam
proses penyidikan biasanya dilakukan oleh penyidik kepolisian, yaitu dengan
melakukan pemanggilan terhadap tertuduh atau tersangka bahkan saksi-saksi untuk
dimintai keterangan tentang apa yang dirasakan atau dialami, dilihat atau
disaksikan, didengar langsung olehnya, dan setelah dilakukan pemeriksaan maka dibuatlah
Berita Acara dan semuanya guna melengkapi berkas perkara untuk dapat lakukan
pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
Dalam
proses penyidikan,
Berdasarkan pengertian notaris yang
terdapat dalam UUJN, Notaris dalam memangku jabatan dan melaksanakan
tugas/pekerjaannya berdasarkan pengangkatan oleh Negara dalam hal ini
Pemerintah. Artinya profesi notaris merupakan jabatan dan merupakan bagian dari
eksekutif sehingga seorang yang secara akademik memiliki kapasitas untuk
menjadi notaris, namun tidak dilakukan pengangkatan oleh pemerintah maka
seseorang tersebut tidak dapat menjadi notaris. Notaris merupakan pejabat yang
diberi wewenang oleh Negara untuk membuat akta-akta otentik. Notaris sebagai
pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik
dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya
dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggung jawaban notaris meliputi
kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya.
Dan terhadap kewenangan tersebut Notaris dalam
melakukan tugas dan tanggungjawabnya enggan melakukan kesalahan sengaja atau
tidak sengaja perbuatan pidana, dimana
melakukan kesalahan dalam tugas jabatannya itu. Dan oleh karena itu maka setiap
perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris harus
dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri.
Dalam
hal pelanggaran dalam jabatan Notaris, penulis dapat mengkualifikasikan yaitu,
pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi dan pelanggara terhadap Undang-undang dan
pertanggung jawaban tersebut bisanya secara perdata, yaitu ganti rugi, secara
pidana yaitu penjara dan denda, dan secara administrasi adalah pemberhentian
dari jabatannya.
Dalam
UUJN telah diatur mengenai wewenang, tugas serta larangan, serta peaturan
mengenai kode etik Notaris, dan semuanya itu merupakan hal yang penting dan
patut untuk diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh Notaris. Telah ditulis ketentuan
mengenai pemeriksaan atau penyidikan
apabila seorang Notaris melakukan perbuatan pidana. Dalam Pasal 66 UUJN telah
mengatur tentang pengabilan minuta akta pemanggilan Notaris.
Pasal
66
(1) Untuk
kepentingan proses peradilan, penyidikan, penuntut umum, atau hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil
fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil
Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya
atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan
fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dibuat berita acara penyerahan.[48]
Pemanggilan
tersebut lebih rinci diatut dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan
Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV Pasal 14 mengenai
Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yang menyatakan:
1) Penyidik,
Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil
notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan
tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
2) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada notaris.
3) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan notaris sebagai
saksi, tersangka atau terdakwa.[49]
Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia tersebut menyatakan bahwa
MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan notaris apabila ada dugaan tindak
pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada
minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris atau belum gugur
hak menuntut berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pidana.
Persetujuan Majelis Pengawas Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan setelah mendengar keterangan dari
Notaris yang bersangkutan. Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan
kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk pemanggilan Notaris sebagai
saksi, tersangka, atau terdakwa apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
Ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf 1
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberikan wewenang kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku penyidik
untuk mengadakan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum.
Selanjutnya ketentuan Pasal 6 ayat 2 UU
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa dimaksud dengan tindakan
bertanggung jawab menurut hukum adalah:
Pasal 16 ayat (2)
1) Tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2) Selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
3) Harus
patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan penyidik;
4) Pertimbangan
yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
5) Menghormati
hak asasi manusia.[50]
Beberapa hal terebut di atas wajib
dipathuhi dalam setiap proses penyidikan. Seperti yang telah dijelaskan di
atas, yang dapat di panggil untuk diperiksa atau dimintai keterangan adalah
saksi dan tersangka. Dalam hal Permasalahan pokok perkara pidana yang berkaitan
langsung dengan akta yang dibuat oleh Notaris, maka notaris atas jabatan serta
wewenangnya tersebut, penyidik biasanya memanggil Notaris tersebut dengan
tuduhan atau sangkaan melakukan:
1. Membuat
surat palsu/surat yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/ surat yang
dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP).
2. Melakukan
pemalsuan surat (Pasal 264)
3. Menyuruh
mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).
4. Melakukan,
menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan Pasal 263 ayat (1) dan (2),
Pasal 264, Pasal 266 (Pasal 55 KUHAP)
5. Dan
membantu melakukan Pasal 263 ayat (1) dan (2), Pasal 264, Pasal 266 (Pasal 56
ayat (1) dan (2)).
Proses penyidikan merupakan suatu proses
yang dilakukan untuk memeriksa saksi dan tersangka. Dan dalam prusedurnya
diatur dalam KUHAP dan Undang-undang khusus yang mengaturnya. Seperti yang
telah dijelaskan di atas, dalam hal kepolisian akan melakukan penyidikan
terhadap dugaan pelanggaran pembuatan akta oleh notaris, sebelumnya harus ada
persetujuan oleh MPD.
Penyidik memeriksa Notaris apabila sebebelumnya
telah mendapat persetujuan oleh MPD. Penyidik melakukan penyidikan sebatas
apabila Notaris melakukan pelanggaran terhadap UUJN, yaitu apabila terbukti
melakukan pemalsuan surat atau aktaa otentik, membantu melakukan pemalsuan
surat, turut serta melakukan pemalsuan surat, serta menyuruh melakukan
pemalsuan surat. Atas hal-hal tersebutlah penyidik wajib melakukan penyidikan
terhadap pelanggarann yang dilakukan Notaris tersebut.
B.
Pertanggunjawaban
Notaris Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta.
Setiap
perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, haruslah
dipertanggungjawakan orang yang merugikan tersebut. Dalam teori kesalahan,
hukum pidana mengenal dua bagian dari kesalahan, yaitu sengaja dan lalai,
selain itu perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak patut, dan melawan
undang-undang adalah perbuatan melawan hukum.
Dalam
pembahasan pertama telah dijelaskan tentang bagaimana batasan terjadinya
pelanggaran Notaris, yaitu mengenai pelanggaran terhadap kode etik, dan
pelanggaran terhadap undang-undang jabatan Notaris itu sendiri. Pelanggaran
Notaris adalah suatu pelanggaran yang dilakukan Notaris dalam tugas jabatannya
sebagai Notaris yang tugas pokoknya membuat akta. Pada pembahasan pertama,
telah dijelaskan mengenai bagaimana pelanggaran dalam jabatan Notaris itu
terjadi, yaitu dalam hal pelanggaran terhadap tanggung jawab serta larangan
dalam jabatan Notaris.
Dalam ketentuan umum butir ke tujuh,
memberikan pengertian mengenai sertifikat. Akta Notaris adalah akta otentik
yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang- Undang ini. Dapat dijelaskan lebih lagi melalui unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Akta Otentik
Akta otentik, merupakan akta sah yang di buat oleh
dan di hadapan badan atau pejabat tertentu sesuai tugas dan wewenangnya untuk
itu, dan memiliki kekuatan hukum atau pembuktian yang mutlak atau sempurna.
2. Dibuat
Oleh Atau Di Hadapan Notaris
Dibuat oleh menerangkan bahwa akta tersebut harus
dibuat oleh notaris sesuai dengan kehendak para pihak yang akan melakukan
persetujuan. Dan dihadapan notaris, misalnya mereka membuat persetujuan para
pihak yang isinya merupakan kehendak para pihak yang akan melakukan suatu
perbuatan tertentu yang berisikan hak-hak dan kewajiban para pihak dengan
menceritakan atau menuliskan semua kehendak atau kesepahaman tersebut dihadapan
notaris, dan untuk proses pembuatan bahkan penandatanganannya dilakukan
dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut
Akta Relaas yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris
sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak
yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Intinya semua dasar
pembuatan akta otentik adalah kehendak atau kesepahaman para pihak tanpa
paksaan dari pihak manapun.
3. Bentuk
Dan Tata Cara Yang Ditetapkan Dalam Undang- Undang Ini.
Menerangkan bahwa mengenai tata cara dan bentuknya
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang ini. Dalam Bab
VII pasal 38-55 UUJN, telah menjelaskan bagaimana bentuk dan tata cara
pembuatan akta oleh notaris.
Berpatokan pada hal telah dijelaskan
sebelumnya, pelanggaran pembuatan akta oleh Notaris, adalah termasuk tindakan
yang merugikan orang lain, tidak patut dan melawan hukum, dan dikualifikasikan
sebagai tindak pidana, dan haruslah dipertanggung jawabkan oleh notaris yang
bersangkutan.
Dalam hukum perdata, bagi perbutan
seseorang yang merugikan orang lain secara tidak patut dan melawan hukum adalah
perbuatan melawan hukum. Pasal 1256 KUHPdt, menjelaskan bahwa:…..
Perbuatan melawan hukum dikualifikasikan
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum/undang-undang, kepatutan/kepantasan,
tidak bertentangan/tidak merugikan kepentingan umum, dan tidak boleh melanggar
kesusilaan. Semua hal tersebut di atas, apabila di kaitkan dengan tugas jabatan
Notaris yang dalam jabatannya melanggar hal-hal tersebut di atas, maka notaris
harus bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita
oleh seseorang atau badan huku yang dirugikan oleh Notaris tersebut. Pembayaran
ganti rugi adalah pembayaran kerugian nyata bahkan dimunkinkan untuk kehilangan
keuntungan.
Terhadap tugas jabatan yang disandang Notris,
dapat dikualifikasikan pelanggaran dilakukannya berkaitan dengan tugas
jabatannya teresebut, adalah Pasal 263 ayat (1) dan (2), Pasal 264, Pasal 266
serta Pasal 55 dan 56 ayat (1) dan (2) KUHPidana. Dan pertanggung jawabannya
adalah sebagai berikut :
Pasal 263 ayat (1)
Barangsiapa membuat surat palsu atau
memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak sesuatu perjanjian
(kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang atau yang boleh dipergunakan sebagai
keterangan bagi sesuatu perbuatan dengan
maksud itu, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau
menggunakannya dapat mendatangkan suatu kerugian dihukum karena pemalsuan
surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.[51]
Dalam pasal tersebut, bagi Notaris yang
melakukan pemalsuan surat, maka pertanggungjawaban pidananya adalah hukuman
penjara selama-lamanya 6 tahun.
Pertanggung jawaban secara administrasi
diatur dalam Pasal 2 yaitu, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri.
Pemberhentian oleh menteri tentu ada alasan pasti dan sah. Dalam Pasal 9 huruf c
dan d, menjelaskan bahwa notaris diberhentikan sementara dari jabatannya
karena, melakukan perbuatan tercela atau melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban dan larangan jabatan. Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana
dimaksud pada di atas dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.
Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal
9 ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku
paling lama 6 (enam) bulan. Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c atau huruf d dapat diangkat kembali
menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir.
Apabila Notaris teresebut melanggar Kode
Etik Profesinya,
Pasal
6
Sanksi
yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat
berupa
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing
(pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting
(pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian
dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di
atas, undang-undang bahkan peraturan kode etik profesi Notaris sendiri telah
mengklasifikasikan mengenai pelanggaran serta sangsi-sangsi terhadap
pelanggaran tersebut. namun dalam undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris masih terdapat kekosongan hukum, yaitu mengenai sanksi
pidananya. Dalam undang-undang ini, hanya menjelaskan sanksi perdata dan sanksi
administrasi bagi pelanggaran Notaris. Untuk itu patutlah ditambahkan untuk
mengisi kekosongan hukum tersebut, karena tidak mungkin apabila notaries
tersebut melakukan pemalsuan surat kemudian tidak ada pertanggungjawaban pidana
di dalam UUJN ini.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Penyidikan
terhadap pelanggaran pembuatan akta oleh Notaris dilakukan oleh kepolisian
apabila sebelumnya telah mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah.
Penyidik melakukan pemanggilan untuk pemeriksaan dengan meminta keterangan
kepada Notaris.
2. Pertanggungjawaban
Notaris terhadap pelangaran pembuatan akta. Pertama, mengenai
pertanggungjawaban perdata yaitu mengenai ganti rugi. Kedua, pertanggungjawaban
pidana yaitu pidana penjara beserta denda.
B.
Saran
1. Kiranya
bagi penyidik untuk lebih tegas dan dan teliti dalam melakukan penyidikan
terhadap pelanggaran pembuatan akta oleh Notaris. Dan diharapkan juga supaya
ada kerjasama antara penyidik kepolisian dan pejabat pengawas jabatan Notaris
agar kiranya dapat
2. Dalam
hal pertanggungjawaban Notaris terhadap pelanggaran pembuatan akata, diharapkan
bagi Notaris yang sengaja melakukan pemalsuan akta/surat untuk lebih dipertegas
lagi sangsinya. Dan dalam hal UUJN tidak mengatur ketentuan pidananya, maka
diharapkan untuk revisi UUJN mendatang kiranya ditambahkan nmengenai ketentuan
pidana apabila Notaris tersebut terbukti melakukan pelanggaran dalam pembuatan
akta.
[1] www.jimlyschool.com/read/analisis/378/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-49puux2013-dan-sikap-notaris-oleh-syafran-sofyan/
[2] Pasal 2 Undang-Undang
[3] http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1851-dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html
[5] http://jasapembuatanweb.co.id/artikel-ilmiah/fungsi-penyidikan
[6] http://muhammad-almansur.blogspot.com/2012/05/penyelidikanpenyidikanpenangkapan-dan.html
[7] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2007, halaman 110.
[8] Ibid.
[9] Ibid. halaman 111
[11] Pasal 1 ayat 7 UU no 30 2004 tentang Jabatan Notaris
[12] Pasal 15 ayat 1 UUJN
[13] Pejelasan Umum UUJN.
[14] Ibid..,
[15] Pasal 39 UUJN
[16] Pasal 40 UUJN
Grafindo Perasada, 1993),
Hal. 12 dikutip oleh EVIE MURNIATY
dalam Tesis yang berjudul Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi
Pelanggaran Kode Etik
[18] Bryan
A. Garner (ed.), 2009. Black’s Law Dictionary. West, ninth edition, h.
1161. Di kutip oleh Muriel Cattleya Maramis dalam skripsi yang berjudul:Tata Cara Pemanggilan Notaris Untuk
Kepentingan Proses Peradilan Pidana Berkaitan Dengan Akta Yang Dibuatnya
[19] http://www.kaskus.co.id/thread/51d05ae51ed719d814000002/undang-undang-nomor-30-tahun-2004-tentang-jabatan-notaris/
[20] Ibid
[21] Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
[22] Pasal 1 ayat 4 Kode etik Notaris.
[23] Consideran huruf c Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris.
[24] Pasal 15 ayat 2, Ibid.
[25] Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2011,
halaman 40
[26] Pasal 15 ayat (2). Ibid..
[27] Pasal 16 Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
[28] Pasal 17 UUJN
[29] Surawardi Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2012, halaman
34.
[30] Habib Adjie, Op,cit,. halaman 40
[31] Ibid..
[32] Penjelasan umum UU 30/2004.
[33] Penjelasan Umum Kode Etik Notaris.
[34] Pasal 1,2, 3, dan 4 Kode Etik Notaris.
[35] Pasal 16 53 dan 54. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
[36] Pasal 69 UUJN
[37] Pasal 73 UUJN
[38] Pasal 77 UUJN
[39] Winanto Wiryomartani, S.H., M.H., http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fe9dafae18de/langkah-hukum-jika-dirugikan-oleh-notaris
[40] P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1997,
halaman 11
[41] Frans Maramis, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis di Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2012. Halaman 113
[42] D.Schaffmeister, Keijzer, E. PH. Sotorius, Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2011, Halaman 28.
[43] Ibid halaman 80
[44] Frans Maramis, op, cit..
halman 116
[45] D.Schaffmeister, Keijzer, E. PH. Sotorius, ibid, halaman 77
[46] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Acara Pidana, Rineka
Cipta, Jakarta, 2004, halaman 130
[47] Frans Maramis, op cit. halaman
119
[48] Pasal 66 UUJN
[50] Pasal 16 ayat (2) Undang-undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
[51] Pasal 263 ayat (1) KUHPidana.
Surat
Pernyataan
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Rai Andre Udampo, SH.
Umur : 23 Tahun
Alamat : Kelurahan Malalayang Satu Timur, Lingkungan III, Kecamatan
Malalayang,
Kota Manado.
Terkait
dengan permasalahan yang terjadi pada teman saya atas nama Gian Leonardo Semet dengan NIM : 090711516. Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado
Sewaktu melaksanakan Ujian Skripsi, dimana yang bersangkutan di sangka
bahkan dituduh melakukan plagiat atas karya tulis pada “Blogger“ atas nama rai udampo (http://raiudampo.blogspot.com/)
dengan Email: raiudampo@gmail.com.
Untuk itu dengan penuh tanggung jawab menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Blog tersebut di atas adalah
benar-benar milik saya sendiri dan karya tulis yang berjudul “PENYIDIKAN
TERHADAP PELANGGARAN PEMBUATAN AKTA OLEH NOTARIS” yang ada di dalamnya bukan merupakan hasil
karya tulis atau skripsi saya. Atas perbuatan yang merugikan tersebut, saya
memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada teman saya Gian Leonardo Semet.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan
sebenar-benarnya tanpa paksaan dari pihak manapun.
Manado,
02 Februari 2015
Yang
membuat pernyataan
Ttd
RAI
ANDRE UDAMPO
1 komentar: