Thursday 6 March 2014

Penyidikan Terhadap Pelanggaran Pembuatan Akta Oleh Notaris



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum, dengan tujuan Negara menjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam tugas pemerintahannya, Pemerintah Negara Indonesia menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat yang memerlukan dan membutuhkan bantuan dalam bidang hukum. Dalam melaksanakan tugas administrasinya, pemerintah dituntun oleh peraturan-perundang-undangan yang mengatur seluruh kegiatan administrasinya dan semua pelaksanaan tugas tersebut untuk harus memperhatikan unsur kepentingan umum, kesusilaan dan kepatutan serta dijalankan dengan asas pemerintahan yang baik demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Segala urusan pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah untuk menunjang dan memenuhi kepentingan umum, dan dalam melaksanakan tugas tersebut, pemerintah secara umum dibagi atas tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan kesemuannya itu melaksanakan tugas dalam bidang administrasinya masing-masing. Eksekutif melaksanakan tugas menjalankan pemerintahan, legislatif menjalankan tugas pembentukan undang-undang dan yudikatif melaksanakan tugas dalam bidang peradilan.
Dalam hukum Indonesia, untuk menjalankan tugas administrasinya, khusus untuk pembuatan akta otentik  dilakukan oleh Notaris. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris[1]. Notaris diangkat dan di berhentikan oleh menteri.[2] Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan (Pasal 15 ayat 2f UUJN).[3]
Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat. Bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik, karena diberi kewenangan oleh Undang-Undang, dan sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak, ahli waris, maupun sekalian orang yang mendapatkan hak dari akta tersebut. Siapa saja yang menyangkal terhadap kebenaran dari akta otentik tersebut, maka pihak yang menyangkal tersebutlah yang membuktikannya, termasuk pihak penyidik.
Dalam pasal 1868 KUHPerdata, Notaris dikenal sebagai Pejabat Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2004; Notaris adalah seorang yang dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedur  yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat  pasal 16 dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan). Sepanjang telah dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tersebut maka seorang yang menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang dilakukannya menurut Undang-undang yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/ kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik, kecuali kalau Notaris yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan tidak “kebal hukum”
Mengetahui hal tersebut, bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena kewenangan tunggal dari pada Notaris tersebut di atas, maka pasti ada pelanggaran, kejahatan bahkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris.
Pelanggaran pada jabatan notaris terjadi apabila notaries melanggar peraturan perundang-undangan, serta etika profesi atau Kode etik Notaris, kesusilaan, ketertiban umum. Pelanggara terjadi seringkali terdapat pada prosedur atau pelaksanaan tugas jabatannya, dan juga pada objeknya yaitu akta Notaris.
Pelanggaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh Notaris, misalnya dalam Putusan MA No. 1847 K/Pid/2010, dengan kasus posisinya  Bahwa ia Terdakwa Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH.MH pada tanggal 26 Desember 1990 atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada bulan Desember 1990 bertempat di Kantor Notaris Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI,SH Jalan Palang Merah No.56 Medan atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan memalsukan surat Akta Authentik yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Bermula Terdakwa Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH.MH pada hari Rabu tanggal 26 Desember 1990 di Kantor Notaris Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH Jalan Palang Merah No. 56 Medan, didatangi Haji Sugeng Imam Soeparno untuk membuat perubahan-perubahan pada Akta Authentik No. 132 tanggal 26 Desember 1990, Terdakwa menuliskan perubahan-perubahan dan pengurangan serta menghilangkan isi yang ada dalam asli/Minuta Akta Yayasan Trie Argo Mulyo Nomor 132 tanggal 26 Desember 1990 ke dalam selembar kertas kosong. isi Akta yang telah dirubah Terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. Pada hari Senin targgal 25 Juni 2007 sekira pukul 11.00 Wib di Kantor Pengadilan Negeri Medan Jalan Pengadilan No. 08 Kota Medan Propinsi Sumatera Utara Akta Authentik No 132 tanggal 26 Desember 1990 yang seolah-olah sesuai dengan isi Minuta Asli salinan kedua Akte No. 132 tanggal 26 Desember 1990 yang dibuat oleh Notaris Soeparno, SH selaku pejabat yang menampung protokol Notaris Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. digunakan oleh saksi Haji Sugeng Imam Soeparno sebagai barang bukti dalam perkara Perdata di Pengadilan Negeri Medan Nomor 306/Pdt.G/06/PN.Mdn, tanggal 08 September 2006. yang dibuat oleh Terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. mengakibatkan kerugian kepada saksi Alwi selaku Direktur Operasional PT. Pancing Business Centre Medan (pelapor) yaitu kalah dalam sidang perdata nomor 306/Pdt.G/06/PN.Mdn, tanggal 08 September 2006, Akibat dari perbuatan Terdakwa memalsukan surat Akta Authentik mengakibatkan suatu kerugian.
Dari permaslahan tersebut diatas dan oleh karena jabatan Notaris memiliki perlindungan hukum yang khusus serta memberikan hak istemewa yaitu hak kebal hukum atas apa yang dilakukan dalam jabatannya sesuai dengan undang-undang, bahkan juga dalam hal penyidikan atas Notaris. Pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh Notaris sering terjadi namun maslahnya adalah bagaimana cara pembuktian mengenai pelanggaran atau kejahatan oleh Notaris, semuanya itu tergantung penyidikan atas tidakan yang dilakukan Notaris. Melalui hal tersebut, Penulis akan membahas mengenai penyidikan terhadap pelanggaran jabatan Notaris.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1.      Bagaimana penyidikan terhadap pelanggaran Notaris dalam pembuatan akta oleh Notaris?
2.      Bagaimana pertanggunjawaban Notaris terhadap pelanggaran dalam pembuatan akta?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan memahami penyidikan terhadap pelanggaran notaris dalam pembuatan akta oleh Notaris.
2.      Untuk mengetahui dan memahami pertanggunjawaban Notaris terhadap pelanggaran dalam pembuatan akta.
D.    Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1.      Memperdalam pemahaman dan pengetahuan agar dapat mengetahui penyidikan terhadap pelanggaran notaris dalam pembuatan akta oleh Notaris.
2.      Memperdalam pemahaman dan pengetahuan agar dapat mengetahui pertanggunjawaban Notaris terhadap pelanggaran dalam pembuatan akta.
E.     Metode Penulisan
Dalam suatu penelitian hukum merupakan suatu keharusan untuk mengunakan suatu metode penelitian agar lebih mudah dalam hal penyusunannya. Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data-data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian ini bersifat Yuridis Normatif, oleh karena didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan tujuan mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dan menganalisisnya. Adapun yang menjadi metode-metode dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.   Pengumpulan Data
Adapun jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu menggunakan bahan-bahan pustaka. Dengan demikian data ini bersumber dari bahan-bahan kepustakaan yaitu :
a.    Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar atau Norma dasar, Peraturan Perundang-Undangan, Yurisprudensi, Traktat.
b.   Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti literatur-literatur rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya tulis, serta makalah-makalah.
c.    Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus umum dan kamus hukum.
2.      Metode Pengolahan Dan Analisis Data
Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu data-data yang terkumpul berkaitan Jabatan konotariatan lebih khusus terhadap pelanggaran yang dilakukan Notaris akan diolah dengan cara mensistematisasikan bahan-bahan hukum yaitu dengan membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut. Data yang diolah kemudian diinterprestasi dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan kontruksi hukum dan selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif, dimana menguraikan data-data yang menghasilkan data deskriptif dalam mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan untuk mengungkapkan kebenaran yang ada.
F.     Sistematika Penulisan
Adapun skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I.    Pendahuluan. Menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan
               Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan dan   
               Sistematika Penulisan.
Bab II.  Tinjauan Pustaka. Menguraikan tentang pengertian Badan Pertanahan   
              Nasional, pengertian Penyidikan dan pengertian Notaris
Bab III. Pembahasan. Menguraikan Pembahasan tentang penyidikan terhadap
               pelanggaran dalam pembuatan akta oleh Notaris.
Bab IV.  Penutup. Yang menguraikan Kesimpulan serta Saran.
Pada akhir penulisan ini dicantumkan Daftar Pustaka yang berisikan sumber-sumber bahan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.      Penyidikan
Penyidikan, kata dasarnya "sidik", artinya proses mencari tahu, menelusuri, atau menemukan kebenaran tentang hal yang disidik. Penyidikan adalah Serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana; proses, cara, perbuatan menyidik. Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian osporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat Malaysia. Dalam bahasa Belanda ini sama dengan osporing. Menurut de Pinto, menyidik (osporing) berarti ‘’pemeriksaan’’ permulaan oleh pejabat-pejabatyang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah  mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menjelaskan bahawa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[4] Berbeda dengan definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan adalah kegiatan Polisi dalam membuat terang suatu kasus yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang sah, baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.
Dari penegertian umum di atas, penulis akan mencoba menjelaskan unsur-unsur dalam ayat ini sebagai berikut:
1.      Serangkaian tindakan penyidik
2.      Menurut cara yang diatur oleh undang-undang
3.      Mencari serta mengumpulkan alat bukti
4.      Membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangka.
Penyidikan adalah “serangkaian tindakan penyidik”. Tindakan dimaksud memiliki arti bahwa penyidikan dimaksud hanya merupakan tindakan penyidik bukan masyarakat umum yang kadangkala main hakim sendiri ketika menemukan pelaku kejahatan atau pelanggaran. Penyidikan umumnya dilakukan oleh anggota kepolisian dan pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (Pasal 1 ayat 1 KUHAP). penyidikan adalah sebuah proses awal dari serangkaian tindakan aparat hukum dalam upayanya membuktikan bahwa telah terjadi tindakan yang dilakukan oleh tersangka. Dengan demikian tentu saja bahan-bahan yang akan ditanyakan kepada tersangka selalu mengarah kepada upaya yang bersifat menekan.
Di atas sudah dijelaskan siapa yang disebut penyidik, yaitu orang yang melakukan penyidikan yangterdiri dari pejabat seperti dijelaskan Pasal 1 butir 1. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam pasa 6 KUHAP. Akan tetapi, di  samping apa yang diatur dalam pasal 1 butir 1 dan pasal 6, terdapat lagi pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.
Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenarnya. Fungsi penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak pidana tertentu telah dilakukan. Tujuan pertama-tama dalam rangka penyidikan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan, hal ikhwal, bukti dan fakta-fakta yang benar mengenai peristiwa yang terjadi. Berdasarkan atas fakta ini kemudian dicoba membuat gambaran kembali apa yang terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang dicari untuk dilengkapi sehingga gambaran peristiwa yang telah terjadi tersebut akhirnya menjadi lengkap.[5]  
Selanjutnya aparat hukum menentukan kepastian perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana berdasarkan undang-undang pidana dengan cara memperoleh bukti-bukti kuat bahwa pelaku benar-benar melakukannya. Dengan dimualainya penyidikan ditandai secara formal procedural dikeluarkannya surat perintah oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik sekaligus diterimanya laporan atau pengaduan ataupun informasi tentang telah terjadinya perbuatan pidana di lapangan.
Selain Pengaturan mengenai penyidikan terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan dalam Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan defenisi yang sama mengenai penyidik. Dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pada pasal 16 dinyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a)      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b)      Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian Perkara untuk kepentingan penyidikan;
c)      Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d)     Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memriksa tanda pengenal diri;
e)      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f)       Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g)      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h)      Mengadakan penghentian penyidikan;
i)        Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j)        Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k)      Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
l)        Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yana menyangkut penyidikan adalah :
1.       Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
2.       Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
3.       Pemeriksaan di tempat kejadian.
4.       Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
5.       Penahanan sementara.
6.       Penggeladahan.
7.       Pemeriksaan atau interogasi.
8.       Berita acara (penggeladahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat).
9.       Penyitaan.
10.   Penyidikan
11.   Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya  kepada penyidik untuk disempurnakan[6]
Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi maupun kepangkatan seseorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai penyidik [7]:
1.      Pejabat Penyidik Polri
Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “Pejabat Polisi Negara”. Memang dari segi diferensiasi funsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instnsi kepolisian.[8] PP No. 27 Tahun 1983 jo pp 58 tahun 2010, Bab II menjelaskan tentang syarat kepangkatan dan syarat kepangkatan pejabat penyidik kepolisian diuraikan sebagai berikut:
a.       Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan,
·         Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi
·      Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua,
·      Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian R.I.
b.      Penyidik Pembantu
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”, diatur dalam PP no 27 tahun 1983 jo pp no 58 tahun 2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu :
·         Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi
·         Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a),
·         Diangkat oleh Kepala R.I. atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.[9]
2.      Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik pegawai negeri sipil ini diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasalnya. Sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelakasanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Berikut kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil:
a)      Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah:
·         Koordinasi penyidik Polri, dan
·         Di bawah pengawasan penyidik Polri.
b)      Penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat1).
c)      Penyidik pegawai negeri tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di disidiknya (Pasal 107 ayat 2).
d)     Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri ( Pasal 107 ayat 3)
e)      Apabila penyidik pegawai negeri sipil mengehntikan penyidikan yang telah dilaporkannya pada penyidik Polri maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat 3).
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi penyidikan, Pasal 7 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a.       Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b.      Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c.       Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.       Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.       Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.       Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.        Mengadakan penghentian penyidikan;
j.        Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam pasal  6 ayat 2 menjelaskan bahawa “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a” dan ayat tiga menjelaskan bahwa, “Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.”
Pasal 8
1)      Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
2)       Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
3)      Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a.       Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
b.      Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Dalam pembicaraan tata cara pemeriksaan, permasalahan difokuskan sepanjang hal-hal yang menyangkut persoalan hukum. Masalah teknis pemeriksaan samasekali di luar jangkauan kita, karena masalah teknis pemeriksaan berada dalam ruang lingkup ilmu penyidikan kejahatan. Sebagaimana diketahui, titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidikan ialah oknum tersangka. Dari dialah akan diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus diperlukan akusatur. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat diri. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannya itulah pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent) sampai diperoleh keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pada suatu pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau ahli, demi untuk terangnya dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan kepada tersangka. Namun, sedangkan kepada tersangka harus ditegakkan harkat martabat dan hak-hak asasinya.[10]
2.      Pelanggaran Pembutan Akta
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan notaris menurut bentuk dan tata carayang ditetapkan dalam undang-undang ini.[11] dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut KUH Perdata Pasal 1870 dan HIR Pasal 165 (Rbg 285) yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat. Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan KUH Perdata pasal 1866 dan HIR 165, akta notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat pembuktian yang utama sehingga dokumen ini merupakan alat bukti persidangan yang memiliki kedudukan yang sangat penting.
Dalam pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa : “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”[12]
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris yang kini berlaku sebagian besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1.      Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
2.      Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3.      Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil NotarisSementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5.      Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.[13]
Dalam Undang-Undang ini diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.[14]
Dalam pembuatan akta, Notaris harus memperhatikan bentuk dan sifat akta seperti yang tertulis dalam Pasal 38 UUJN. Selanjutnya agar tidak terjadi pelanggaran dalam pembutan akta penghadap atau pemohon dan Notaris harus memperhatikan:
                                                               Pasal 39
1)      Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b.      cakap melakukan perbuatan hukum.
2)      Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
3)      Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.
Untuk tindak lanjut dari persyaratan tersebut diatas, dalam Pasal 40 UUJN menjelaskan :[15]
Pasal 40
1)      Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.
2)      Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
b.      cakap melakukan perbuatan hukum;
c.       mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d.      dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e.       tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.[16]
Pasal 42 UUJN menjelaskan Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat kuasa yang belum menyebutkan nama penerima kuasa.
Akta ditulis dalam bahasa Indonesia. Dalam hal penghadap ataupun saksi tidak dapat mengerti isi akta tersebut, Notaris wajib menjelaskannya. Jika dalam hal akta dibuat dalam bahasa lain maka notaris berkewajiban untuk menerjemahkannya atau bisa juga dengan penerjemah yang ditujuk secara resmi.  Setelah akta di bacakan, akta tersebut ditandatangani oleh penghadap, saksi dan Notaris, jika akta tersebut diterjemakan oleh Penerjemah resmi, maka ia pun harus menandatangani akta tesebut. Selanjutnya dalam Pasal 48 menerangkan bahwa  Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Secara prinsip, notaris bersifat pasif melayani para pihak yang menghadap kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat atau menuliskan dalam akta apa-apa yang diterangkan para pihak, tidak berhak mengubah, mengurangi atau menambah apa yang diterangkan para penghadap.
Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.
Mengenai pelanggaran Notaris dalam pembuatan akta, yaitu mengenai pelanggaran terhadap kode etik dan terhadap Undang-undang Notaris. Dalam UUJN bahkan kode etik mengatur mengenai kewajiban dan larangan serta sangsi-sangsinya. Pelanggara terhadap kewajiban dan larangan tersebut oleh Notaris di kualifikasikan sebagai pelanggara dalam jabatan Notaris.
           
3.      Notaris
Di Indonesia, Notaris sudah dikenal semenjak zaman Belanda, ketika menjajah Indonesia. Istilah Notaris berasal dari kata Notarius, yang dalam bahasa Romawi kata tersebut diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Selain pendapat tersebut di atas ada juga yang berpendapat bahwa nama notarius itu berasal dari perkataan notaliteraria yaitu yang menyatakan sesuatu perkataan. Di dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan di Belanda selanjutnya menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan Notariat yang diberlakukan di Indonesia.[17]
Asal usul istilah Notaris berasal dari kata Latin, notarius, yang artinya “penulis, panitera pada pengadilan gereja.” Menurut Black’s Law Dictionary, kata asal dari notarius adalah nota, yang berarti suatu karakter atau tanda. Dari Istilah notarius ini kemudian berkembang menjadi notaris atau yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah “notary public”,  yang sering juga disingkat sebagai notary[18].
Kehadiran Notaris sebagai Pejabat Publik adalah jawaban dari kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum atas setiap perikatan-perikatan yang mereka lakukan, tentunya perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha perdagangan. Notaris adalah satu-satunya pejabat yang diberi wewenang umum untuk membuat akta perikatan, selagi belum ada Undang-Undang yang mengatur perihal pembuatan akta tertentu dengan pejabat khusus di luar Notaris. Seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). [19] Sebelum berlakunya undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau yang sering disingkat UUJN, peraturan jabatan notaris masih bersifat kolonial dan tidak terkodifikasi dengan baik. Adalah Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia) sebagaimana diatur dalam Staatsblad No.1860:3 yang menjadi peraturan jabatannya.[20] Barulah di tanggal 6 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Diundangkannya UUJN ini tentu saja disambut baik oleh kalangan Ilmu Hukum, Hukum Notariat, dan masyarakat pada umumnya terlebih lagi mereka yang biasa menggunakan layanan dari notaris. Sambutan tersebut adalah wujud kegembiraan karena Notariat, dalam posisi Pejabat Notaris dan Hukum Notaris secara umum kini lebih efisien menuju kodifikasi yang positif.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia Notaris adalah orang yg mendapat kuasa dr pemerintah (dl hal ini Departemen Kehakiman) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta.  Notaris itu adalah Pejabat Umum yang satu-satunya  berwenang membuat akta otentik, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Notaris diberi wewenang untuk membuat , terutama di bidang instrumen otentik : orang-orang dan keluarga ( penyusunan perjanjian pranikah , surat wasiat , akta cerai , sertifikat warisan, dll),  nyata hal yang benar (membuat instrumen pengiri akta hipotek , instrumen dalam konteks pelelangan umum, dll ) hak hukum (membuat dokumen pendirian, perubahan undang-undang, instrumen transfer dan isu (issue) saham, sertifikat merger dan berpisah dan sejenisnya.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenagan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. [21] Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 1 juncto pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.[22] Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapat perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.[23]
Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akte otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akte otentik, menjamin kepastian tanggalnya,  menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuannya sepanjang akta itu oleh suatu peraturan tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.[24]
Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 UUJN. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada notris tidak pernah diberikan kepada pejabat lainnya, selama-sepanjang kewenagan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenagan tersebut menjadi kewengan notaris.[25]
Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris berwenang pula :
a.       Mengesahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.      Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.       Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d.      Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan aslinya;
e.       Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta risalah lelang.[26]
Dalam Pasal 16 UUJN menjelaskan bahwa:
(2)   Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a.       bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b.      membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c.       mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
d.      memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e.       merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f.       menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g.      membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
h.      membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
i.        mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j.        mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k.      mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l.        membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;[27]
Dalam melakukan tugas jabatannya, Notaris dilarang untuk :
1.      menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2.      meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3.      merangkap sebagai pegawai negeri;
4.       merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5.      merangkap jabatan sebagai advokat;
6.       merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7.      merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
8.      menjadi Notaris Pengganti; atau
9.       melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.[28]

Dari apa yang dikemukakan pasal tersebut terlihat dengan jelas bahwa tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik, adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah “suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akte itu dibuatnya.” [29]
Kewenangan notaris disamping diatur dalam pasal 15 UUJN, juga ada kewenangan yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan yang lain (diluar UUJN) dalam arti peraturan perundang-undangan yang bersangkuta menyebutkan-menegaskan agar perbuatan hukum tertentu wajib dibuat dengan akta notaris. [30]
Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh Negara, bekerja juga untuk kepentingan Negara namun notaris bukanlah pegawai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dia hanya menerima honorarium atau fee dari klien. Dan dapat dikatakan bahwa Notaris adalah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah. Notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah.[31] Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan tetapi juga karena dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan  untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. [32]
Jabatan Notaris, selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah teknis hukum, juga harus berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum Nasional, oleh karena itu notaris harus senantiasa selalu menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh. Untuk itu (terutama sekali dalam rangka peningkatan jasa pelayanannya) Notaris harus selalu mengikuti perkembangan hukum nasional, yang pada akhirnya notaris mampu melakukan profesinya secara proporsional.
Notaris dalam melakukan tugasnya melaksanakan jabatanya dengan penuh tanggung jawab dengan menhayati keseluruhan martabat jabatanya dan dengan keterampilan melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum, dan berbahsa Indonesia dengan baik. [33]Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris harus berpegang tegu pada kode etik jabatan notaris. Apabila tidak ada kode etiknya, maka harkat dan martabat profesionalisme akan hilang sama sekali.
Kaidah-kaidah yang wajib dipegang oleh notaris, diantaranya :
6.      Kepribadian Notaris, hal ini dijabarkan kepada :
1.1.   Notaris sebagai Pejabat Umum dalam melaksanaka tugasnya dijiwai pancasila, sadar dan taat kepada hukum peraturan jabatan Notaris, sumpah jabatan, kode etik Notaris dan berbahasa Indonesia dengan baik.
1.2.   Notaris dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khusus di bidang hukum
1.3.   Notaris berkepribadian baik dan menjujung tinggi martabat kehormatan Notaris, baik di dalam maupun di luar jabatannya.
2.      Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harusnya:
2.1.   Notaris dalam melakukan tugas jabatannya menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.
2.2.   Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya menggunakan satu kantor yang telah ditetapkannya sesuai dengan Undang-undang dan tidak mengadakan kantor cabang perwakilan dan tidak mengunakan perantara-perantara.
2.3.   Notaris dalam melakukan tugas jabatannya tidak mempergunakan mass media yang bersifat promosi.
3.      Dalam hubungan Notaris dengan klien, Notaris harus:
3.1.   Notaris dalam melakukan tugas jabatannya memberikan pelayanan hukum kepada masyrakatyang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya.
3.2.   Notaris dalam melakukan tugas jabatannya memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibanya sebagai warga Negara dan anggota masyarakat.
3.3.   Notaris memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang kurang mampu dengan cuma-cuma.
4.      Notaris dengan sesama  rekan Notaris :
4.3.   Notaris dengan sesama rekan Notaris hendaklah hormat menghormati dalam suasana kekeluargaan.
4.4.   Notaris dalam melakukan tugas jabatannya tidak melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan Notaris, baik moral maupun materil dan menjauhkan diri dari usaha-usaha untuk mencari keuntungan dirinya semata-mata.
4.5.   Notaris harus saling menjaga dan membela kehormatan dan nama baik korp Notaris atas dasar rasa solidaritas dan sikap saling tolong menolong secara konstruktif.[34]
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib :
1.      Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang balk.
2.      Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
3.       Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4.      Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.
5.      Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6.      Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7.      Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8.      Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9.      Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat :
a.       Nama lengkap dan gelar yang sah;
b.      Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris;
c.       Tempat kedudukan;
d.      Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus ielas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10.  Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
11.  Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12.  Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia.
13.  Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan.
14.  Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.
15.  Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.
16.  Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17.  Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
a.       UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b.      Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c.       Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d.      Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.

Larangan
Pasal 4
Notaris dan orang lain yang memangku clan menjalankan jabatan. Notaris dilarang :
1.      Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
2.      Memasang pagan Hama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
3.      Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk
a.       Iklan;
b.      Ucapan selamat;
c.       Ucapan belasungkawa;
d.      Ucapan terima kasih;
e.       Kegiatan pemasaran;
f.       Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olahraga;
4.      Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien.
5.      Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain.
6.      Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
7.      Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
8.      Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
9.      Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
10.  Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.
11.  Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
12.  Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
13.  Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.
14.  Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
15.  Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a.       Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang JabatanNotaris;
b.      Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
c.       Isi sumpah jabatan Notaris;
d.      Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Notaris adalah suatu jabatan yang dibebani kewajiban untuk menjaga kerahasiaan isi akta dan keterangan yang diberikan berkaitan dengan aktaaktayang dibuatnya. Hal ini dapat disimpulkan dalam ketentuan pasal-pasal yang lain dalam UUJN, antara lain:
1        Pasal 4 ayat (2) UUJN (Sumpah Jabatan) yang menyatakan bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya;
2        Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan Sumpah Jabatan, kecuali undang-undang menetukan lain.
3        Pasal 54 UUJN menyatakan bahwa Notaris hanya memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang mempunyai hak kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya, menyimpan minuta akta itu adalah kewajiban Notaris, sehingga Notaris seharusnya menyimpan sendiri Protokol Notaris (yang berisi minuta akta) dan tidak membiarkan Protokol Notaris dipegang oleh pegawainya. Ini karena Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris (Pasal 1 angka 13 UU Jabatan Notaris).
Ruang lingkup pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu, dan alat bukti tersebut berada dalam tataran hukum perdata, bahwa Notaris membuat akta karena permintaan dari para penghadap, dan tanpa ada permintaan dari penghadap, Notaris tidak akan membuat akta apapun, dan Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti, keterangan dan pernyataan para penghadap.  Notaris juga memberikan nasihat hukum kepada penghadap menyangkut persoalan persoalan yang akan dituangkan dalam akta nantinya.  Apapun yang akan dituangkan nantinya merupakan kehendak dari para pihak yang datang menghadap dan bukan berasal dari keinginan dari Notaris secara pribadi yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN yakni :
“Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya.”
Pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN mengandung arti, seorang Notaris tidak boleh menolak untuk memberikan bantuan apabila hal itu diminta kepadanya oleh orang yang membutuhkan jasa Notaris, kecuali dalam hal terdapat alasan yang berdasar untuk itu.
Notaris dapat menolak memberikan bantuannya yaitu apabila :
1.      Notaris sakit atau berhalangan, karena sudah ada janji terlebih dahulu dengan pihak lain;
2.      Penghadap tidak dikenal oleh Notaris, identitasnya tidak ada, dan Notaris merasa ragu-ragu terhadap akibat pembuatan akta tersebut;
3.      Notaris tidak dapat memahami keterangan penghadap yang akan dituangkan ke dalam akta;
4.      Kehendak para pihak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan;
5.      Permintaan bantuannya itu ada kaitannya dengan Pasal 52 dan Pasal 53 UUJN, yaitu Notaris ada hubungan keluarga dekat dengan para penghadap, atau akta yang akan dibuat itu ada kaitannya dengan suatu keuntungan kepada Notaris atau saksi atau keluarga mereka.
Pasal 52 ayat 1 UUJN
Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.”
Pasal 53 UUJN
Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi :
a.       Notaris, isteri atau suami Notaris;
b.      Saksi, isteri atau suami saksi; atau,
c.       Orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.”[35]
Atas pelangaran bahkan kejahatan yang dilakukan oleh Notaris, pihak yang berwenang untuk mengawasi tugas Notaris adalah Menteri, yakni Menteri Hukum dan HAM. Untuk melaksanakan lebih lanjut pengawasan Notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi notaris, dan ahli/akademisi (Pasal 67 ayat (2) dan (3) UUJN).
Dalam hal pengawasan, UUJN menegaskan bahwa:
1.      Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri.
2.      Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.
3.      Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:
a.       pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b.      organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c.       ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
4.      Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.
5.      Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.
6.      Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara Notaris.
            Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) terdiri atas:
a.       Majelis Pengawas Daerah;
b.      Majelis Pengawas Wilayah; dan
c.        Majelis Pengawas Pusat.
Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a.       menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b.       melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1(satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c.       memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d.      menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e.       menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f.        menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g.        menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
h.      membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.[36]
Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
a.       menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b.      memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.       memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d
d.      memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
e.       memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
f.       mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1)      pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2)      pemberhentian dengan tidak hormat.
g.      membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.[37]
Majelis Pengawas Pusat berwenang :
a.       menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b.      memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.        menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d.      mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.[38]
Dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia (INI), pada Januari 2005 di Bandung, ditetapkan Kode Etik Notaris yang didasarkan pada Undang-Undang Jabatan Notaris, sehingga ada sanksi yang jelas bila terjadi pelanggaran Kode Etik yang berupa:
1.      Teguran;
2.      Peringatan;
3.      Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
4.      Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
5.      Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
Menurut Winanto Wiryomartani, S.H., M.H., notaris senior yang juga anggota Majelis Pengawas Pusat Notaris, notaris adalah pejabat umum untuk melayani masyarakat. Jadi, dalam rangka pembuatan akta otentik oleh notaris, masyarakat wajib dilindungi. Untuk itulah makanya diciptakan majelis pengawas yang fungsinya melindungi masyarakat jika terjadi "malpraktek" oleh notaris. Pengawasan ini tujuannya adalah pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran yang merugikan masyarakat.[39]


BAB III
PEMBAHASAN
A.    Penyidikan Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta Oleh Notaris.
Dalam hukum pidana Indonesia khusunya dalam proses beracara, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sebagai panduan bagi para penegak hukum bahkan masyarakat untuk penegakan hak dan kewajiban bahkan kepastian hukum untuk orang-orang yang ingin beracara dalam perkara pidana.
Hukum pidana di Indonesia terbagi atas dua yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil yaitu hukum yang mengatur kejahatan dan pelanggara bahkan sangsi-sangsinya. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum pidana yang mengatur cara bagaimana mempertahankan hukum pidana materil. Hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syara bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan. Hukum pidana formilo itu mengatur bagaimana caranya Negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana. [40]
Tiada pidana tanpa kesalahan (Belanda: Geen Straf sonder schuuld). Ini merupakan salah satu asas yang dianut dalam Hukum Pidana Indonesia. Asas ini menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatannya apabila pada dirinya terdapat kesalahan.[41]  Asas kesalahan di sini diartikan sebagai Tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya.[42]  Tiada pidana tanpa kesalahan berarti untuk pemidanaan tidak hanya diisyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut itu dapat di celakan kepadanya.[43] Untuk itu dapat disimpulkan cirri dan unsur kesalahan dalam arti yang luas, yaitu:
1.      Dapat dipertanggungjawabkan pembuat;
2.      Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan adanya kesengajaan atau kesalahan dalam arti sempit (culpa)
3.      Tidak ada dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Unsur-unsur kelasalahan terdiri dari tiga bagian:
1.      Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pelaku;
2.      Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan atau kealpaan; dan
3.      Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau menghapus pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.[44]
 Selain ada unsur kesalahan yang terdapat pada pelaku, hukum pidana pun mengatur tentang sifat melawan hukum. Dalam menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum (jadi yang tertulis) sebagai unsur yang tertulis.[45] “melawan hukum” itu sendiri bermacam-macan, ada yang mengartikan sebagai “tanpa hak sendiri” (sonder eigen recht), “Bertentangan dengan hak orang lain” (tegen eens anders recht), “bertentangan dengan hukum objektif” (tegen het objective recht).[46]
Dalam kualifikasi hukum pidana materil, terdapat kesalahan dan sifat melawan hukum dimana kesalahan terbagi atas kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan ini berarti pada waktu melakukan perbuatan, pelaku menghendaki (willen) perbuatan dan atau akibat perbuatannya juga mengetahui atau mengerti (weten) hal-hal tersebut.[47] Sedangkan keapaan adalah perbuatan dimana seseorang melakukan perbuatan tersebut seharusnya dapat menduga akan akibat yang ditimbulkan, atau melakukan perbuatan tersebut dengan tidak hati-hati.
Dalam hal seseorang melakukan tindak pidana, baik kehatan ataupun pelanggaran, maka semuannya harus dipertanggungjawabkan oleh pembuat itu sendiri, kecuali ada alas an pembenar dan pemaaf. Pertanggung jawaban pidana di Indonesia di tegakkan oleh penegak hukum seperti yang tercantum dalam hukum pidana, yaitu oleh polisi, hakim, jaksa, dan pengacara (advokad). Untuk itu dalam hukum acara formil mengatur menganai penegakan hukum pidana materil, dimana mengatur tugas dan tanggung jawab penegak hukum dalam mempertahankan hak-haknya.
Dalam hal terjadi pelanggaran Hukum pidana, maka penegak hukum bertidak untuk membela kepentingan publik dan telah diatur untuk proses bercaranya Dalam KUHAP. Proses beracara pertama-tama diawali dengan Penyelidikan yaitu proses mencari atau mengidentifikasi terjadinya tindak pidana. Dan pada selanjutnya dilakukan Penyidikan yaitu mencari alat bukti sehingga membuat terang suatu tindak pidana guna menemukan tersangkanya.
Dalam proses penyidikan biasanya dilakukan oleh penyidik kepolisian, yaitu dengan melakukan pemanggilan terhadap tertuduh atau tersangka bahkan saksi-saksi untuk dimintai keterangan tentang apa yang dirasakan atau dialami, dilihat atau disaksikan, didengar langsung olehnya, dan setelah dilakukan pemeriksaan maka dibuatlah Berita Acara dan semuanya guna melengkapi berkas perkara untuk dapat lakukan pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.
Dalam proses penyidikan,
Berdasarkan pengertian notaris yang terdapat dalam UUJN, Notaris dalam memangku jabatan dan melaksanakan tugas/pekerjaannya berdasarkan pengangkatan oleh Negara dalam hal ini Pemerintah. Artinya profesi notaris merupakan jabatan dan merupakan bagian dari eksekutif sehingga seorang yang secara akademik memiliki kapasitas untuk menjadi notaris, namun tidak dilakukan pengangkatan oleh pemerintah maka seseorang tersebut tidak dapat menjadi notaris. Notaris merupakan pejabat yang diberi wewenang oleh Negara untuk membuat akta-akta otentik. Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggung jawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya.
 Dan terhadap kewenangan tersebut Notaris dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya enggan melakukan kesalahan sengaja atau tidak sengaja  perbuatan pidana, dimana melakukan kesalahan dalam tugas jabatannya itu. Dan oleh karena itu maka setiap perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris harus dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri.
Dalam hal pelanggaran dalam jabatan Notaris, penulis dapat mengkualifikasikan yaitu, pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi dan pelanggara terhadap Undang-undang dan pertanggung jawaban tersebut bisanya secara perdata, yaitu ganti rugi, secara pidana yaitu penjara dan denda, dan secara administrasi adalah pemberhentian dari jabatannya.
Dalam UUJN telah diatur mengenai wewenang, tugas serta larangan, serta peaturan mengenai kode etik Notaris, dan semuanya itu merupakan hal yang penting dan patut untuk diperhatikan dan ditindak lanjuti oleh Notaris. Telah ditulis ketentuan  mengenai pemeriksaan atau penyidikan apabila seorang Notaris melakukan perbuatan pidana. Dalam Pasal 66 UUJN telah mengatur tentang pengabilan minuta akta pemanggilan Notaris.
Pasal 66
(1)   Untuk kepentingan proses peradilan, penyidikan, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a.       mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b.      memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2)   Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.[48]
Pemanggilan tersebut lebih rinci diatut dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV Pasal 14 mengenai Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yang menyatakan:
1)      Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.
2)      Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada notaris.
3)      Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.[49]
Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut menyatakan  bahwa MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
Persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan. Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan wewenang kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku penyidik untuk mengadakan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum.
Selanjutnya ketentuan Pasal 6 ayat 2 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa dimaksud dengan tindakan bertanggung jawab menurut hukum adalah:
Pasal 16 ayat (2)
1)      Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2)      Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
3)      Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan penyidik;
4)      Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
5)      Menghormati hak asasi manusia.[50]
Beberapa hal terebut di atas wajib dipathuhi dalam setiap proses penyidikan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang dapat di panggil untuk diperiksa atau dimintai keterangan adalah saksi dan tersangka. Dalam hal Permasalahan pokok perkara pidana yang berkaitan langsung dengan akta yang dibuat oleh Notaris, maka notaris atas jabatan serta wewenangnya tersebut, penyidik biasanya memanggil Notaris tersebut dengan tuduhan atau sangkaan melakukan:
1.      Membuat surat palsu/surat yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/ surat yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP).
2.      Melakukan pemalsuan surat (Pasal 264)
3.      Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).
4.      Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan Pasal 263 ayat (1) dan (2), Pasal 264, Pasal 266 (Pasal 55 KUHAP)
5.      Dan membantu melakukan Pasal 263 ayat (1) dan (2), Pasal 264, Pasal 266 (Pasal 56 ayat (1) dan (2)).
Proses penyidikan merupakan suatu proses yang dilakukan untuk memeriksa saksi dan tersangka. Dan dalam prusedurnya diatur dalam KUHAP dan Undang-undang khusus yang mengaturnya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, dalam hal kepolisian akan melakukan penyidikan terhadap dugaan pelanggaran pembuatan akta oleh notaris, sebelumnya harus ada persetujuan oleh MPD.
            Penyidik memeriksa Notaris apabila sebebelumnya telah mendapat persetujuan oleh MPD. Penyidik melakukan penyidikan sebatas apabila Notaris melakukan pelanggaran terhadap UUJN, yaitu apabila terbukti melakukan pemalsuan surat atau aktaa otentik, membantu melakukan pemalsuan surat, turut serta melakukan pemalsuan surat, serta menyuruh melakukan pemalsuan surat. Atas hal-hal tersebutlah penyidik wajib melakukan penyidikan terhadap pelanggarann yang dilakukan Notaris tersebut.
B.     Pertanggunjawaban Notaris Terhadap Pelanggaran Dalam Pembuatan Akta.
Setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, haruslah dipertanggungjawakan orang yang merugikan tersebut. Dalam teori kesalahan, hukum pidana mengenal dua bagian dari kesalahan, yaitu sengaja dan lalai, selain itu perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak patut, dan melawan undang-undang adalah perbuatan melawan hukum.
Dalam pembahasan pertama telah dijelaskan tentang bagaimana batasan terjadinya pelanggaran Notaris, yaitu mengenai pelanggaran terhadap kode etik, dan pelanggaran terhadap undang-undang jabatan Notaris itu sendiri. Pelanggaran Notaris adalah suatu pelanggaran yang dilakukan Notaris dalam tugas jabatannya sebagai Notaris yang tugas pokoknya membuat akta. Pada pembahasan pertama, telah dijelaskan mengenai bagaimana pelanggaran dalam jabatan Notaris itu terjadi, yaitu dalam hal pelanggaran terhadap tanggung jawab serta larangan dalam jabatan Notaris.
Dalam ketentuan umum butir ke tujuh, memberikan pengertian mengenai sertifikat. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang- Undang ini. Dapat dijelaskan lebih lagi melalui unsur-unsur sebagai berikut :
1.       Akta Otentik
Akta otentik, merupakan akta sah yang di buat oleh dan di hadapan badan atau pejabat tertentu sesuai tugas dan wewenangnya untuk itu, dan memiliki kekuatan hukum atau pembuktian yang mutlak atau sempurna.
2.      Dibuat Oleh Atau Di Hadapan Notaris
Dibuat oleh menerangkan bahwa akta tersebut harus dibuat oleh notaris sesuai dengan kehendak para pihak yang akan melakukan persetujuan. Dan dihadapan notaris, misalnya mereka membuat persetujuan para pihak yang isinya merupakan kehendak para pihak yang akan melakukan suatu perbuatan tertentu yang berisikan hak-hak dan kewajiban para pihak dengan menceritakan atau menuliskan semua kehendak atau kesepahaman tersebut dihadapan notaris, dan untuk proses pembuatan bahkan penandatanganannya dilakukan dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut Akta Relaas yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Intinya semua dasar pembuatan akta otentik adalah kehendak atau kesepahaman para pihak tanpa paksaan dari pihak manapun.
3.      Bentuk Dan Tata Cara Yang Ditetapkan Dalam Undang- Undang Ini.
Menerangkan bahwa mengenai tata cara dan bentuknya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang ini. Dalam Bab VII pasal 38-55 UUJN, telah menjelaskan bagaimana bentuk dan tata cara pembuatan akta oleh notaris.
            Berpatokan pada hal telah dijelaskan sebelumnya, pelanggaran pembuatan akta oleh Notaris, adalah termasuk tindakan yang merugikan orang lain, tidak patut dan melawan hukum, dan dikualifikasikan sebagai tindak pidana, dan haruslah dipertanggung jawabkan oleh notaris yang bersangkutan.
            Dalam hukum perdata, bagi perbutan seseorang yang merugikan orang lain secara tidak patut dan melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum. Pasal 1256 KUHPdt, menjelaskan bahwa:…..
Perbuatan melawan hukum dikualifikasikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum/undang-undang, kepatutan/kepantasan, tidak bertentangan/tidak merugikan kepentingan umum, dan tidak boleh melanggar kesusilaan. Semua hal tersebut di atas, apabila di kaitkan dengan tugas jabatan Notaris yang dalam jabatannya melanggar hal-hal tersebut di atas, maka notaris harus bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh seseorang atau badan huku yang dirugikan oleh Notaris tersebut. Pembayaran ganti rugi adalah pembayaran kerugian nyata bahkan dimunkinkan untuk kehilangan keuntungan.
Terhadap tugas jabatan yang disandang Notris, dapat dikualifikasikan pelanggaran dilakukannya berkaitan dengan tugas jabatannya teresebut, adalah Pasal 263 ayat (1) dan (2), Pasal 264, Pasal 266 serta Pasal 55 dan 56 ayat (1) dan (2) KUHPidana. Dan pertanggung jawabannya adalah sebagai berikut :
Pasal 263 ayat (1)
Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan  dengan maksud itu, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau menggunakannya dapat mendatangkan suatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.[51]
Dalam pasal tersebut, bagi Notaris yang melakukan pemalsuan surat, maka pertanggungjawaban pidananya adalah hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.


Pertanggung jawaban secara administrasi diatur dalam Pasal 2 yaitu, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri. Pemberhentian oleh menteri tentu ada alasan pasti dan sah. Dalam Pasal 9 huruf c dan d, menjelaskan bahwa notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena, melakukan perbuatan tercela atau melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada di atas dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat. Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9  ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan. Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c atau huruf d dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir.
Apabila Notaris teresebut melanggar Kode Etik Profesinya,
Pasal 6
Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa
a.       Teguran;
b.      Peringatan;
c.       Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d.      Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e.       Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, undang-undang bahkan peraturan kode etik profesi Notaris sendiri telah mengklasifikasikan mengenai pelanggaran serta sangsi-sangsi terhadap pelanggaran tersebut. namun dalam undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masih terdapat kekosongan hukum, yaitu mengenai sanksi pidananya. Dalam undang-undang ini, hanya menjelaskan sanksi perdata dan sanksi administrasi bagi pelanggaran Notaris. Untuk itu patutlah ditambahkan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, karena tidak mungkin apabila notaries tersebut melakukan pemalsuan surat kemudian tidak ada pertanggungjawaban pidana di dalam UUJN ini.








BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Penyidikan terhadap pelanggaran pembuatan akta oleh Notaris dilakukan oleh kepolisian apabila sebelumnya telah mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah. Penyidik melakukan pemanggilan untuk pemeriksaan dengan meminta keterangan kepada Notaris.
2.      Pertanggungjawaban Notaris terhadap pelangaran pembuatan akta. Pertama, mengenai pertanggungjawaban perdata yaitu mengenai ganti rugi. Kedua, pertanggungjawaban pidana yaitu pidana penjara beserta denda.
B.     Saran
1.      Kiranya bagi penyidik untuk lebih tegas dan dan teliti dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pembuatan akta oleh Notaris. Dan diharapkan juga supaya ada kerjasama antara penyidik kepolisian dan pejabat pengawas jabatan Notaris agar kiranya dapat
2.      Dalam hal pertanggungjawaban Notaris terhadap pelanggaran pembuatan akata, diharapkan bagi Notaris yang sengaja melakukan pemalsuan akta/surat untuk lebih dipertegas lagi sangsinya. Dan dalam hal UUJN tidak mengatur ketentuan pidananya, maka diharapkan untuk revisi UUJN mendatang kiranya ditambahkan nmengenai ketentuan pidana apabila Notaris tersebut terbukti melakukan pelanggaran dalam pembuatan akta.


[1] www.jimlyschool.com/read/analisis/378/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-49puux2013-dan-sikap-notaris-oleh-syafran-sofyan/
[2] Pasal 2 Undang-Undang
[3] http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1851-dugaan-tindak-pidana-terhadap-notaris.html
[4] Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
[5] http://jasapembuatanweb.co.id/artikel-ilmiah/fungsi-penyidikan
[6] http://muhammad-almansur.blogspot.com/2012/05/penyelidikanpenyidikanpenangkapan-dan.html
[7] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, halaman 110.
[8] Ibid.
[9] Ibid. halaman 111
[11] Pasal 1 ayat 7 UU no 30 2004 tentang Jabatan Notaris
[12] Pasal 15 ayat 1 UUJN
[13] Pejelasan Umum UUJN.
[14] Ibid..,
[15] Pasal 39 UUJN
[16] Pasal 40 UUJN
[17] Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta : Raja
Grafindo Perasada, 1993), Hal. 12 dikutip oleh EVIE MURNIATY dalam Tesis yang berjudul Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Kode Etik
[18] Bryan A. Garner (ed.), 2009. Black’s Law Dictionary. West, ninth edition, h. 1161.  Di kutip oleh Muriel Cattleya Maramis  dalam skripsi yang berjudul:Tata Cara Pemanggilan Notaris Untuk Kepentingan Proses Peradilan Pidana Berkaitan Dengan Akta Yang Dibuatnya
[19] http://www.kaskus.co.id/thread/51d05ae51ed719d814000002/undang-undang-nomor-30-tahun-2004-tentang-jabatan-notaris/
[20] Ibid
[21] Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[22] Pasal 1 ayat 4 Kode etik Notaris.
[23] Consideran huruf c Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
[24] Pasal 15 ayat 2, Ibid.
[25] Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung 2011, halaman 40
[26] Pasal 15 ayat (2). Ibid..
[27] Pasal 16 Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
[28] Pasal 17 UUJN
[29] Surawardi Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2012, halaman 34.
[30] Habib Adjie, Op,cit,. halaman 40
[31] Ibid..
[32] Penjelasan umum UU 30/2004.
[33] Penjelasan Umum Kode Etik Notaris.
[34] Pasal 1,2, 3, dan 4 Kode Etik Notaris.
[35] Pasal 16 53 dan 54. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
[36] Pasal 69 UUJN
[37] Pasal 73 UUJN
[38] Pasal 77 UUJN
[39] Winanto Wiryomartani, S.H., M.H., http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fe9dafae18de/langkah-hukum-jika-dirugikan-oleh-notaris
[40] P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, halaman 11
[41] Frans Maramis, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2012. Halaman 113
[42] D.Schaffmeister, Keijzer, E. PH. Sotorius, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, Halaman 28.
[43] Ibid halaman 80
[44] Frans Maramis, op, cit.. halman 116
[45] D.Schaffmeister, Keijzer, E. PH. Sotorius, ibid, halaman 77
[46] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Acara Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 130
[47] Frans Maramis, op cit. halaman 119
[48] Pasal 66 UUJN
[49] Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007.
[50] Pasal 16 ayat (2) Undang-undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[51] Pasal 263 ayat (1) KUHPidana.








Surat Pernyataan

Saya yang bertanda tangan di bawah  ini,
      Nama          : Rai Andre Udampo, SH.
      Umur           : 23 Tahun
      Alamat         : Kelurahan Malalayang  Satu Timur, Lingkungan III, Kecamatan Malalayang,
                          Kota Manado.
Terkait dengan permasalahan yang terjadi pada teman saya atas nama Gian Leonardo Semet dengan NIM : 090711516. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado  Sewaktu melaksanakan Ujian Skripsi, dimana yang bersangkutan di sangka bahkan dituduh melakukan plagiat atas karya tulis pada “Blogger“ atas nama rai udampo (http://raiudampo.blogspot.com/) dengan Email: raiudampo@gmail.com. Untuk itu dengan penuh tanggung jawab menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Blog tersebut di atas adalah benar-benar milik saya sendiri dan karya tulis yang berjudul “PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PEMBUATAN AKTA OLEH NOTARIS”  yang ada di dalamnya bukan merupakan hasil karya tulis atau skripsi saya. Atas perbuatan yang merugikan tersebut, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada teman saya Gian Leonardo Semet.
            Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa paksaan dari pihak manapun.

                                                                                                           Manado, 02 Februari 2015
                                                                                                            Yang membuat pernyataan

   
                                                                                                                          Ttd

                                                                                                           RAI ANDRE UDAMPO









Load disqus comments

1 komentar: